20 Agustus 2020 umat Islam memperingati tahun baru 1442 Hijriah. Jelas sebuah kerugian jika miskin diskursus untuk menkristalisasi nilai-nilai dibalik peristiwa hijrah. Sekaligus antitesis dengan kondisi sekarang dimana kita butuh resolusi untuk menjawab problematika dan tantangan. Secara pribadi, sosial dan berbangsa dan bernegara; Menghadapi cobaan pandemi dan realitas lainnya.
Sebab pengetahuan adalah kekuatan. Mengambil intisari dan konsepsi dari peristiwa hijrah yang adaptif lintas zaman merupakan cara terbaik memperingatinya. Nilai kemaslahatan tak semata bagi umat Islam, tetapi manusia secara keseluruhan. Sebagaimana karakter ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin.
Sejarah dunia pun telah mencatat peristiwa hijrah sebuah fragmen yang merekonstruksi peradaban dunia. Membawa manusia yang semula hidup dalam kejahiliyahan menuju kebaikan pola pikir dan perbuatan.
Menggali makna hijrah ada unsur makaniyah dan ma’nawiyah. Secara makaniyah hijrah bentuk perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, mengacu kepada peristiwa berpindahnya Rasul dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah yang disinggung dalam ayat Al Qur’an.
Sementara secara ma’nawiyah: meninggalkan hal buruk di belakang menuju sesuatu lebih baik, hijrah dari kesyirikan menuju tauhid yang buahnya pengharapan total kepada Allah SWT bukan sisi manusia; berpindah dari kehidupan jahiliyah yang mengubur fitrah ke kehidupan Islami yang menyuburkan berkah; komitmen terhadap kebenaran dengan segala tingkat kemampuan (tangan, lisan dan hati), tidak bersebarangan apalagi mendukung aksi kebatilan.
Maknawi
Bicara maknawi tentu bisa lebih komprehensif lagi. Apalagi menyoal setiap detail peristiwa hijrah yang memang dipersiapkan sebagai warisan dan pelajaran bagi manusia. Aspek pertama dari peristiwa tersebut adalah bagaimana caranya supaya perubahan dan rekayasa sosial dapat bekerja dengan baik.
Ada perubahan mendasar yang tampak dari karakter dakwah yang dibawa Nabi Muhammad Saw antara sebelum dan sesudah hijrah. Peristiwa “mobilitas” Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya ke satu tempat ke tempat lain adalah sisi ekstrinsik.
Instrinsiknya adalah perkara saat Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya mengambil keputusan untuk berhijrah. Dimana beliau telah membangun perangkat dan instrumen yang bisa menjaga komitmen keimanan dan menarik dimensi kehidupan kepada cara pandang Islam. Dan tahapan tersebut tidak berlangsung instan, tapi butuh waktu lama dan komitmen yang kuat. Dalam konteks kekinian inilah aspek yang diabaikan.
Banyak pihak yang ingin merubah sesuatu ke arah lebih baik namun tergesa-gesa. Begitu juga di level Negara dan pemerintahan yang juga kerap mengambil kebijakan secara terburu-buru tanpa melihat azas dan kebutuhan rakyat atas kebijakan itu. Sehingga berujung sia-sia dan bahkan wanprestasi.
Setelah pentingnya proses dan tahapan, kedua adalah membangun sistem. Dalam fase hijrah tampak perubahan pendekatan. Dalam buku karangannya, sejarawan internasional Tamim Ansari pada karya best sellernya berjudul Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia versi Islam memaparkan secara praktis perbedaan utama sebelum dan sesudah hijrah.
Sebelum peristiwa hijrah, Nabi Muhammad SAW adalah tipe pendakwah dengan pengikut individual dan lebih berorientasi pada menjaga komunitas yang terbatas. Namun setelah peristiwa hijrah karakter dakwah beliau beralih kepada kepemimpinan masyarakat, mendapatkan sejumlah kesepakatan sosial yang berkekuatan hukum dengan kelompok lain, membangun instrumen politik dan dimensi kehidupan serta kenegaraan berikut memperkuat bimbingan sosial. Artinya kesalehan pribadi mendorong kepada kesalehan sosial. Inilah esensi kehadiran Islam di tengah peradaban manusia.
Power Sebagai Jalan
Berangkat dari pemaparan tadi jelas bahwasanya Islam memosisikan power sebagai modal berharga guna menkonversi nilai-nilai ke dalam praktik kehidupan. Dimensi politik, ekonomi, sosial dan budaya serta dimensi lainnya yang punya kaitan erat dengan peradaban manusia.
Tujuannya bukan untuk sentimen keagamaan atau hegemoni kelompok. Akan tetapi agar tatanan sosial mencapai bentuk ideal; rakyat memperoleh hak yang seharusnya dimilikinya. Karena ajaran Islam paripurna dan punya konsep yang dibutuhkan kehidupan manusia. Penerapannya bahkan sudah terbukti dan dicatat dalam tinta emas sejarah. Ajaran Islam pun berorientasi semangat kolektivitas dan memberi naungan nyaman bagi berbagai pemeluk kepercayaan.
Lihatlah bagaimana Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW paska peristiwa hijrah yang menjadi salah satu role model penerapan demokrasi, juga ada Baghdad di masa kejayaannya danTurki Utsmani. Ini terjadi berkat ajaran Islam yang meletakan pondasi perubahan ada pada kolektivitas. Karena mustahil mencapai perubahan ke arah lebih baik jika kita asyik mencari perbedaan. Inilah orientasi proyek sosial Islam, kebaikan untuk keseluruhan. Makanya ajaran Islam berafiliasi sedemikian dalam ke wilayah publik.
Sekarang saatnya kontemplasi diri, bertanya apakah kita sudah larut dalam agenda perbaikan diri, masyarakat dan bangsa secara kolektif atau lebih sering larut dalam egoisme diri? Bagi umat Islam, dakwah bukan melulu ceramah. Tapi bagaimana setiap sektor turut andil membuka ruang bagi terwujudnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan.
Contohnya peluang kontribusi umat melalui zakat dan wakaf yang dinilai masih bisa dioptimalkan perannya meski di sisi lain butuh negara dan pemerintah sebagai katalisator untuk mengarahkan potensi kebaikan tersebut. Karena sejatinya karakter ajaran Islam offensive dalam menawarkan gagasan perbaikan. Bukan defensive yang berkutat dengan ritual yang memang sudah jadi kewajiban.
Karena menawarkan kebaikan dan memperbaiki keadaan jauh lebih baik dari berkeluh kesah meratapi dan mencaci-maki keadaan. Semoga melalui momen Tahun Baru Islam Allah Swt beri kita petunjuk untuk meresapi maknanya dan kemampuan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan. Insya Allah dengan usaha dan upaya yang tak kenal lelah, sabar dan tawakal, balasan dari Allah Swt akan setimpal. Ingatlah, bahwa setiap kesulitan ada kemudahan.
“Putaran zaman itu menakjubkan, sekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan,” (Imam Syafii).
Penulis: H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
Anggota DPRD Provinsi Riau, Fraksi PKS