Ramadhan Bulan Produktif

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebuah anugerah luar biasa bagi umat muslim khususnya dan umat manusia beserta semesta alam umumnya. Bisa kita saksikan dan rasakan betapa tinggi antusiasme menyambut Ramadhan. Bahkan sebelum memasukinya saja digelar beragam acara atau tarhib di banyak wilayah Indonesia dan belahan dunia. Apatah lagi selama bulan suci, dimana dorongan berbuat baik begitu kuat. Paling sederhana marak orang dan komunitas masyarakat berbagi takjil dan berderma. Orang yang sebelumnya tak pernah shalat ke masjid, di bulan Ramadhan terpacu untuk menunaikannya. Bila diluar jarang membaca Al Qur’an, di bulan Ramadhan tersentuh hati ingin melantunkan ayat suci saban waktu. Selain menyandang titel sebagai bulan mulia, Ramadhan sekaligus pembuktian bahwa membumikan kebaikan bukan perkara inisiatif. Tak cukup diserahkan ke tiap-tiap individu. Kebaikan butuh “ekosistem” dan dukungan lingkungan untuk menyuburkannya. Semaju apapun negara di dunia ini dengan perangkat hebat hukum dan tata kelola negara, tak akan pernah mampu mengondisikan sedemikian rupa sehingga terbentuk suasana penuh kebaikan sebagaimana dirasakan dalam bulan suci Ramadhan.

Berangkat dari nilai keberkahan di atas, tak heran Ramadhan banyak mengabadikan peristiwa sejarah penting. Dalam kontek keagamaan peristiwa dimaksud menjadi tonggak tegaknya risalah Islam. Paling fenomenal tentunya Perang Badar di tahun kedua hijriyah. Kondisi lahir dan batin saat melakukan peperangan dalam keadaan lapar dan haus belum lagi secara jumlah musuh lebih banyak. Kendati begitu peperangan berhasil dimenangkan kaum muslim. Berikutnya 21 Ramadhan tahun kedelapan hijriyah, kota suci Makkah ditaklukan. Peristiwa Fathul Makkah pertanda Islam mulai tersebar ke seluruh jazirah Arab. Tentu dalam kisah epik tadi tak semua yang berkomitmen. Seperti dikisahkan dalam Perang Tabuk yang juga berlangsung di bulan Ramadhan tahun kesembilan hijriyah. Saat itu perjalanan menempuh wilayah Tabuk sangat berat. Dalam kondisi berpuasa, medan yang berat harus dilalui kaum muslimin. Teriknya matahari yang begitu menyengat membuat sebagian kalangan kaum muslim kala itu merasa berat hati memenuhi seruan Rasulullah untuk berjihad. Namun disinilah seleksi berlaku. Menyisihkan mana yang beriman dan berjiwa produktif.

Ramadhan juga jadi saksi perjuangan kemerdekaan negeri ini. Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 (bertepatan 9 Ramadhan 1364 H) dilanjutkan penyusunan landasan hukum penyelenggaraan negara, susunan pemerintahan dan pembentukan lembaga negara. Tertanggal 18 Agustus 1945 (10 Ramadhan 1364 H) dilaksanakanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hasil rapat mengesahkan RUUD 1945 menjadi UUD 1945, Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden serta pengesahan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai lembaga negara yang merupakan cikal bakal menjadi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saat ini. Kemudian paska proklamasi diwarnai agresi militer pertama Belanda. Bermula dari kekalahan Belanda dalam Perang Dunia II yang berdampak pada lesunya ekonomi negara kolonial tersebut. Untuk memulihkan ekonomi, Belanda butuh sumber daya bernilai. Dan itu ada di Indonesia. Hasrat untuk kembali menjajah terwakili dari pidato Van Mook yang menyatakan Indonesia berbentuk pemerintahan persemakmuran. Pernyataan ditolak mentah-mentah oleh Indonesia yang telah memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Lambat laun kondisi semakin tak kondusif dan memanas. Akhirnya 21 Juli 1947 (3 Ramadhan 1366 H) Belanda melancarkan agresinya yang pertama. Perlawanan menyeruak di nusantara.

Produktif

Pemandangan lazim ketika masuk bulan Ramadhan didapati upaya penyesuaian. Semisal teruntuk Pemerintahan setiap tahun terbit aturan jam kerja bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tahun ini, ketentuan tersebut sudah diteken oleh Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas tertanggal 20 Maret 2023 yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri PANRB Nomor 6/2023 tentang Jam Kerja ASN pada Bulan Ramadhan 1444 Hijriah di Lingkungan Pemerintah. Isinya, instansi yang memberlakukan lima hari kerja bisa pulang pukul 15.00. Sementara instansi memberlakukan enam hari kerja bisa pulang pukul 14.00. Meski kebijakan klise dan rutin, komentar warga tak pernah sepi. Bisa dibaca kolom komentar pemberitaan terkait penyesuaian jam kerja ASN, rata-rata netizen menyelutuk yang nadanya kira-kira begini: “jam kerja biasa aja sering pulang lebih awal, apalagi sekarang dikurangi”. Kami sendiri pada prinsipnya tak mempermasalahkan penyesuaian jam kerja. Hanya saja wajar muncul keluhan bakal berkurangnya produktivitas. Sebab berpuasa seringkali dijadikan tameng bermalas-malasan berdalih lemahnya tubuh selama tak makan dan minum. Ujungnya malah menghindari atau mengurangi kewajiban yang telah diamanahkan.

Memang berpuasa berarti menahan diri dari makan dan minum kurun waktu ditentukan. Namun secara maknawi bukan hanya itu. Ramadhan adalah bulan perjuangan. Seperti yang sering kita dengar dari lisan penceramah berupaya melawan hawa nafsu. Kata perjuangan secara tersurat menegaskan Ramadhan menuntut umat Islam produktif. Jadi sebuah kekeliruan besar stigma berpuasa bikin lemas dan banyak beristirahat. Kita semestinya mengambil pelajaran masa kehidupan Rasulullah dan para sahabat hingga perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ramadhan momentum tepat membumikan ajaran Islam sebagai jalan kehidupan. Mendakwahkannya melalui banyak cara dan media sesuai kemampuan kita supaya banyak yang memahami ajaran Islam; mengasah sensitivitas terhadap fakir-miskin; dan meningkatkan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar. Perihal disebut terakhir, maksud setan dibelenggu tak terwujud dengan sendirinya. Harus disertai ikhtiar kita. Dimulai mengendalikan hawa nafsu sebagai langkah awal membendung sifat negatif dan destruktif. Bukan berarti pula selama Ramadhan kemaksiatan dan kezaliman berhenti unjuk gigi. Pengendalian diri yang dilatih selama puasa Ramadhan bertujuan membentuk jiwa dan mentalitas. Seiring keberhasilan berpuasa diraih maka akan me-reset kepribadian dan mengaktifkan kembali fitrah diri. Dampaknya, kita akan gelisah melihat kemungkaran, kezaliman dan kemaksiatan serta bersemangat beramal kebaikan. Inilah bekal penting untuk masuk ke fase iman sesungguhnya yakni membenarkan dengan ucapan dan tangan. Sebagaimana hadist Nabi, iman tak cukup keyakinan di hati. Harus diucapkan di lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan. Ketika berpuasa didasarkan atas iman, menjalaninya bukan beban. Justru semangat meningkatkan produktivitas. Lebih lagi pahala dan balasan atas amal selama Ramadhan dilipatgandakan.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Menjadi Figur Ayah Serupa Luqman, Mampukah Kita?

Pekanbaru – Sebagai ayah kita memang bukan Luqman al-Hakim, tetapi sekadar membuat anak kita tertawa …