ANCAMAN BONUS DEMOGRAFI

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  

Baru-baru ini warganet dibikin heboh. Pemicunya syarat lowongan kerja PT Kereta Api Indonesia Persero (KAI). Berdasarkan pengumuman dipublikasikan di akun resmi Instagram PT KAI yaitu @keretaapikita (18/4/2024), KAI membuka setidaknya 21 posisi untuk lulusan Sarjana atau kualifikasi management trainee untuk tingkat pendidikan S1. Adapun periode pendaftaran dibuka mulai 17-22 April 2024. Pendaftaran lowongan kerja KAI 2024 ini dapat dilakukan secara online melalui e-recruitment.kai.id. Namun bukannya disambut antusias oleh warga dan pencari kerja, lowongan kerja KAI malah menuai kritik di berbagai platform sosial media. Mayoritas mengeluhkan kualifikasi yang ditetapkan KAI standar tinggi. Diantara paling mencolok seperti nilai IPK minimal 3.5, akreditasi jurusan harus A/unggul ditambah kemampuan bahasa Inggris dibuktikan sertifikasi TOEFL dan TOEIC dengan skor minimal 500. Seakan belum cukup, kriteria lain yakni tinggi badan minimal 160 cm untuk pria dan 155 cm untuk wanita.

Komentar warganet membuat kita yang membaca campur emosi. Mulai yang serius, bikin tersenyum dan ketawa karena lucu bahkan terselip ironi. Salah satu akun mengetik “Tiap KAI membuka rekrutmen pegawai selalu minta standar tinggi, jarang atau bahkan gak pernah ngasih kesempatan buat kaum standar menengah, seperti kampus akreditasi B, atau yang punya IPK antara 3.20-4.00, standar TOEFLnya juga terlalu tinggi,” ungkap @txttransportasi di X (Twitter). “Baru pertama kali liat dah kerja ada syarat seribet ini. Emang apa ngaruhnya IPK sama skill pekerjaan. Udah tau tiap Universitas standar IPK beda… Mending ngadain tes baru bener,” ujar netizen lain. Adapula menyelutuk “Jadi pejabat, penguasa tertinggi di negara api aja gak perlu IPK tinggi-tinggi, gak perlu jago bahasa Inggris, ini KAI standarnya IPK 3,5, TOEFL 500…”. “Akreditasi A, IPK 3,5. Kalo gaji lebih kecil dari cawapres, rugi,” tulis @edo####. “IPK 3,5 dengan akreditasi jurusan ‘A’ sih harusnya dapet 2 digit ya, harusnya,” kata @sijapra##. “Harus pake Ordal ga? soalnya ga punya,” timpal lainnya.

Menjawab komplain warganet, pihak KAI berdalih tujuan dibalik standar tinggi karena KAI ingin calon pemimpin KAI di masa depan kapabilitas dan wawasannya global. Alasannya mitra KAI mancanegara. Kemampuan bahasa Inggris penting untuk mempermudah kolaborasi dan memastikan informasi dapat dipahami oleh pihak terkait. Selain itu, pelamar diminta berasal dari perguruan tinggi akreditasi unggul atau A sebab indikator kualitas pendidikan dan kompetensi calon karyawan. Jawaban pihak KAI mungkin mirip serupa perusahaan pada umumnya: diplomatis. Terlepas dari itu, perihal lowongan kerja di dalam negeri memang menarik untuk diangkat. Bukan semata menilik respon dari warganegara atau membela pencari kerja. Akan tetapi melihat dari berbagai sudut pandang harus diakui selama ini persyaratan yang lazim ditetapkan pemberi kerja perlu dikaji. Sebagian besar justru tidak sejalan perkembangan zaman bahkan cenderung mengarah ke diskriminasi.

Perubahan

Sentimen warga terhadap syarat lowongan kerja bukan kali pertama. Beberapa tahun belakangan desakan menuntut perubahan terus disuarakan. Teranyar aksi hukum warga Bekasi, Leonardo Olefins Hamonangan yang mengajukan gugatan syarat usia lowongan kerja dalam sidang perkara nomor 35/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi (MK) (18/3/2024). Dalam permohonan, yang bersangkutan berkata bahwa memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan semisal usia, jenis kelamin atau etnis membuka peluang diskriminasi. Sehingga perekrutan tenaga kerja tidak mengedepankan proses seleksi adil dan transparan. Pemberi kerja bisa saja memanfaatkan keadaan untuk mengeksploitasi tenaga kerja dengan memberlakukan kondisi kerja yang tak sesuai atau upah rendah. Ini dikhawatirkan menciptakan ketidaksetaraan dalam hubungan kerja. Topik tentang dunia lowongan kerja ikut disorot selama masa kampanye Calon Presiden (Capres). Kandidat paling sering mengangkat isu ini adalah Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Anies menilai, persyaratan usia tertentu dalam lowongan kerja dinilai diskriminatif.

Dari perspektif warga dan pencari kerja, syarat kayak usia dianggap memutus harapan warga mendapat kerja di usia tertentu. Padahal masih produktif. Secara regulasi sebenarnya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan melarang diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja. Puncak kekesalan bertambah manakala perusahaan yang menerapkan kualifikasi tinggi ke pencari kerja tidak disertai gaji sepadan. Bak istilah sekarang, minta spek elit tapi pelit. Tak heran kenapa terjadi gelombang migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Karena di luar mereka lebih dihargai. Mirisnya banyak diantaranya punya keahlian. Fenomena tadi memunculkan kekhawatiran brain drain. Alarm peringatan berikut ketika perubahan tidak ditempuh ialah ancaman Indonesia Emas 2045. Bonus demografi akan tersia-siakan. Pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) waktu Seminar Nasional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) bertema ”Pengembangan SDM Unggul untuk Memanfaatkan Peluang Bonus Demografi menuju Indonesia Maju pada RPJMN 2020-2024” pernah menyinggung kriteria dunia kerja yang tak revelan. Dalam kesempatan dimaksud, Kepala Bappenas mengatakan, untuk menghasilkan angkatan kerja berkualitas, pendidikan semestinya tak sekadar fokus pada IPK dan ijazah. Lebih dari itu, calon pekerja harus memiliki kompetensi khusus.

Inilah landasan memandang pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Tidak semata pada torehan “di atas kertas”, tetapi keahlian dan mentalitas. Terlebih di tengah tantangan pasar kerja yang sarat revolusi industri, ekonomi digital dan sebagainya. Kami berkeyakinan, SDM di negeri ini potensial dan produktif. Bonus demografi satu-satunya bekal berharga mengantar Indonesia menuju negara berpendapatan tinggi. Bicara solusi, disamping mendorong kepatuhan pemberi kerja akan regulasi, Pemerintah dituntut menjalankan kewajiban menyelenggarakan pendidikan. Berkaca pada angka, setiap tahun angkatan kerja di Indonesia mencapai 3,1 juta orang. Kompetensi mereka demikian beragam. Namun dari segi pendidikan hanya ada 11 persen lulusan dari perguruan tinggi. Sisanya SD hingga SMA. Belum lagi tuntutan kurikulum pendidikan mesti mengacu ke kebutuhan. Selain penataan dan pembenahan kurikulum, tugas negara lainnya merevitalisasi pendidikan vokasional dan membuka ruang seluas-luasnya pelatihan kompetensi. Supaya tidak ada kesenjangan. Di sini koordinasi pusat dan daerah. Mengingat masing-masing daerah memiliki karakteristik permasalahan berbeda, pengelolaan SDM perlu disesuasikan.

Momentum bonus demografi yang dimiliki Indonesia hanya akan memberi manfaat bila ada pengelolaan modal manusia terencana, kolaboratif, komprehensif dan konsisten. Dibutuhkan terobosan secara bertahap dengan arah kebijakan yang tepat hingga ke level Pemerintah Daerah (Pemda). Banyak contoh negara berhasil berkembang dari negara tertinggal menjadi maju berkat persiapan matang menyambut bonus demografi. Salah satunya Korea Selatan (Korsel). Korsel pada 1950-an negara berpenghasilan rendah di dunia lalu melejit berpenghasilan menengah ke atas di era 1970-an dan berpenghasilan tinggi di tahun 1990-an. Korsel dapat mengekselerasi pembangunan negaranya berkat produktivitas SDM mereka, kendati Sumber Daya Alam (SDA) yang terbatas. Kita harusnya bersyukur. Perpaduannya begitu sempurna: SDA dan SDM melimpah.

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Anggota DPRD Riau Abdul Kasim Minta Perbaikan Jalan Tuntas Sebelum Arus Mudik 

Dumai – Anggota DPRD Provinsi Riau dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, H Abdul Kasim SH, …