Pekanbaru – Pengesahan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh pemerintah pusat pada 5 Oktober 2020 yang lalu, menjadi polemik di masyarakat terutama buruh, tak terkecuali dari kalangan politisi yang ada di daerah.
Seperti yang dikatakan Anggota DPRD Provinsi Riau Sofyan Siroj, ia menyesalkan pengesahan UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan pemerinrtah daerah (Pemda). Padahal yang mengerti betul apa yang dibutuhkan di suatu daerah adalah Pemda setempat itu sendiri.
“Sedari awal, pembahasan dan penyusunan Omnibus Law, Pemda dan elemen daerah tidak dilibatkan secara aktif dan partisipatif untuk memberi masukan dan menyampaikan aspirasi masyarakat daerah. Bahkan saat rapat virtual presiden dengan kepala daerah beberapa waktu yang lalu (setelah Omnibus Law disahkan), kesempatan menyampaikan pendapat masih saja dibatasi,” ungkapnya.
Dalam rapat tersebut, dikatakannya, kepala daerah juga dilarang untuk membocorkan hasil pertemuan. Ironisnya sekarang setelah omnibus law disahkan unsur penyelenggara pemerintah daerah diminta untuk bersinergi untuk melaksanakan UU tersebut.
“Ini jelas sangat bertentangan dengan semangat reformasi yang mengedepankan partisipasi dan transparansi serta pelibatan daerah sebagai wujud desentralisasi,” pungkas lulusan Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir itu.
Dirinya melanjutkan, idealnya produk hukum yang disahkan oleh pemerintah harus dikonsultasikan dan diuji publik terlebih dahulu agar tidak menimbulkan resistensi di tengah masyarakat. Apalagi Omnibus Law mendapat penolakan keras dari elemen masyarakat secara nasional.
Persoalan semakin bertambah karena hingga sekarang salinan UU tersebut justru belum bisa diakses oleh publik. Padahal salinan UU tersebut memuat banyak hal yang perlu diketahui terutama waktu pemberlakuan dan hal lainnya dianggap penting dalam konteks perundang-undangan.
“Wajar, kemudian menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat, kenapa Rakor (Rapat Koordinasi) Omnibus Law begitu digesa dan dipaksakan?. Apalagi di tengah kondisi Pandemi yang seharusnya Pemda Riau sedang fokus dalam penanganan covid-19 dan perlindungan kesehatan dan pemulihan ekonomi masyarakat,” sesalnya.
“Jadi, saya menilai Undang-Undang tersebut tidak layak untuk disahkan. Karena kandungan UU Cipta Kerja secara materil dan moril banyak cacat dan merugikan masyarakat,” tutupnya. (*)