INVESTASI BUTUH YANG PASTI-PASTI

Kabar mengejutkan datang dari gedung Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyatakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) inkonstitusional! Proses pembentukannya dinyatakan tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Dalam putusan bernomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai gugatan formil UU Ciptaker, di halaman 412 disebutkan bahwa tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun walau inkonstitusional, MK memberi tenggang waktu 2 tahun untuk memperbaiki UU tersebut. Jika tidak diperbaiki maka peraturan yang telah dicabut akibat UU Ciptaker berlaku kembali.

Para ahli dan akademisi serta pihak Pemerintahan Daerah (Pemda) menilai beragam. Tapi titik persinggungannya sama. Sama-sama bingung. Pasalnya, dalam amar putusan MK menyatakan segala tindakan/kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas serta penerbitan peraturan pelaksana yang berkaitan dengan UU Ciptaker harus ditangguhkan. Praktis UU tidak bisa digunakan sama sekali sampai diperbaiki lebih dulu. Sementara kami di lembaga DPRD ada rasa mendua.

Pertama, sangat menghormati dan mengapresiasi setinggi-tingginya putusan MK yang mengabulkan aspirasi dan tuntutan elemen yang keberatan atas beleid sapu jagad itu. Di Riau sendiri, baik DPRD dan Pemprov Riau dengan surat Gubernur Riau (Gubri) tertanggal 12 Oktober 2020 telah meneruskan aspirasi Serikat Pekerja/Buruh Provinsi Riau dan/atau Elemen Mahasiswa Riau ke pusat berisi protes penolakan saat pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja dulu. Putusan MK preseden bagi pihak penyelenggara pemerintahan, pusat hingga daerah. Harapan ke depan, pembentukan produk hukum tidak boleh mengenyampingkan tata cara atau pedoman demi mencapai tujuan. Formil dan materiil wajib dipenuhi. Sebagaimana terungkap dalam sidang MK, diantara cacat formil penyusunan adalah minim pelibatan dan terbatasnya akses terhadap materi pembahasan. Disamping itu, penyederhanaan 78 UU dengan materi muatan berbeda menjadi satu rupanya tak sesuai aturan pembentukan produk hukum.

Kedua, putusan MK yang berdampak masif butuh kejelasan sikap dari Pemerintah. Presiden Jokowi sendiri menghormati dan memerintahkan jajarannya untuk segera menindaklanjuti. Meski begitu dalam keterangan pers di Istana Merdeka Senin (29/11/2021), Presiden menyebut UU Cipta Kerja masih tetap masih berlaku dan mengatakan tak satu pasal pun UU Ciptaker yang dibatalkan. Hal sama disampaikan Satgas Percepatan Sosialisasi Undang-undang Cipta Kerja dalam workshop di Medan Rabu (1/12/2021), berargumen Pemda tetap bisa menyelesaikan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) turunan UU Ciptaker kendati putusan MK menetapkan Inkonstitusional. Perbedaan tafsiran bisa bias. Memang tak ada pembatalan pasal-pasal tapi MK menyatakan dalam pembentukan UU, antara teknis dan substansi (formil dan materiil) tidak dapat dipisahkan. Bila aspek teknis atau tata cara pembentukan bermasalah maka tertib hukum pembentukan suatu peraturan tidak terwujud. Regulasi yang bermasalah dalam pelaksanaan bakal memunculkan masalah baru.

Suasana penuh ketidakjelasan seperti sekarang bisa kontraproduktif. Program pembentukan produk legislasi di daerah jelas terganggu. Kekhawatiran menghantui daerah yang terlanjur menggodok Ranperda turunan UU Ciptaker. Jika terus lanjut nanti mengundang perdebatan dan masalah lagi. Apalagi menurut identifikasi Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ada ribuan Perda terdampak UU Ciptaker dalam upaya penyelarasan dan penyederhanaan regulasi. Termasuk Riau.

Paling mengemuka soal Revisi Perda nomor 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat Adat dan Pemanfaatannya, yang sebagian isi dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Meski Panitia Khusus (Pansus) diketuai Abdul Kasim dari fraksi PKS sudah cukup lama menuntaskan pembahasan, namun saat konsultasi ke Kemendagri belum mendapat persetujuan. Alasannya harus disesuaikan dengan UU Cipta Kerja. Sehingga, DPRD Riau masih menungggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja. Mengingat Revisi Perda 10/2015 sangat urgen dalam rangka memberi kepastian hukum tanah ulayat dan upaya pencegahan konflik lahan yang kasusnya paling banyak terjadi di Riau, serta perlindungan terhadap masyarakat adat, maka revisi Perda bisa terkatung-katung. Situasi tersebut dapat mengganggu jalannya aktivitas pembangunan dan perekonomian di daerah.

Kepastian

Dampak paling besar wacana simpang siur terkait masa depan pelaksanaan UU Ciptaker adalah masyarakat terutama pelaku usaha dan investor. Apalagi UU Ciptaker multi klaster. Kita mendukung tujuan UU Ciptaker untuk mengatasi “obesitas” regulasi dan tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Dengan begitu meningkatkan kemudahan berusaha dan berinvestasi. Akan tetapi prosesnya sesuai kaidah berlaku. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menjamin kepastian hukum dan dukungan terhadap kemudahan investasi dan berusaha serta komitmen agenda reformasi struktural, deregulasi, dan debirokratisasi. Namun itu semua butuh pembuktian.

Berkaca pada putusan MK yang membeberkan adanya aspek formil tidak ditaati dalam proses pembentukan UU Ciptaker, tentu bisa menuai penilaian negatif dan skeptis dari investor dan pelaku usaha. Selain itu, masalah juga tak selesai dengan menerbitkan satu UU pamungkas. Perihal investasi misalnya. Bank Dunia dan lembaga internasional menilai kelemahan mendasar Indonesia disamping kepastian regulasi dan kebijakan Pemerintah, juga SDM dan infrastruktur. Cukup banyak aturan terbit hari ini esok diralat atau ditarik kembali. Kebijakan pun begitu, contoh paket ekonomi berjilid-jilid tapi output-nya tak jelas. SDM dan infrastruktur juga PR besar. Tapi sayangnya belum ada itikad baik kebijakan pusat guna mengatasi kesenjangan anggaran antara pusat dan di daerah. Terutama daerah luar Jawa yang makin sulit mengejar ketertinggalan.

Regulasi bagus lahir dari proses yang baik. Regulasi bagus ketika penegakan hukumnya juga bagus. Artinya pembenahan regulasi mesti dibarengi aspek penegakan hukum, cara aparat hukum menangani atau menyelesaikan proses hukum dan perbaikan indeks korupsi yang masih tinggi. Termasuk kebijakan berkeadilan. Relevan dengan ini misalkan kebijakan tax amnesty. Kebijakan kontroversi itu memberi pesan kurang baik bagi mereka sudah capek-capek taat pajak. Regulasi dan kebijakan seperti tadi juga bisa mendegradasi tingkat kepercayaan terhadap Pemerintah dan memicu persepsi bahwa hukum di negara ini bisa dikompromikan. Penerapan hukum tanpa kepastian memicu ketidakpercayaan. Kita ingin investasi tapi investasi yang berkualitas. Hanya regulasi dan penegakan hukum bisa menjamin terpenuhinya keinginan tersebut. Terakhir, dunia tentu memantau UU Ciptaker mulai pembentukan, pengesahan hingga putusan MK. Oleh karena itu harus hati-hati. Komitmen dan kesungguhan Pemerintah melaksanakan putusan MK paling dinanti. Upaya perbaikan UU Ciptaker harus belajar dari kesalahan, diawali transparansi dan pelibatan elemen masyarakat. Karena regulasi yang inkonstitusi bikin kondisi tak pasti.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Aleg PKS, H. Amal Fathullah Kunjungi dan Bantu Warga Kampar di RS Awal Bros

Pekanbaru — Pada hari Jum’at (4/10/2024), Anggota DPRD Riau dari Fraksi PKS, H. Amal Fathullah, …