Jelang berakhir tahun 2022 (30/12) Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini diterbitkan menggantikan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Mengutip pidato Presiden dan website resmi negara, terdapat beberapa pertimbangan dibalik penerbitan beleid “sapu jagad” yang berjumlah 1.117 halaman termasuk bab penjelasan tersebut.
Selain untuk melaksanakan putusan MK yang mengharuskan perbaikan melalui penggantian terhadap UU Ciptaker, dalih utama lainnya dari Perppu diantaranya adalah untuk menyiasati tuntutan globalisasi ekonomi dan adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional; peningkatan ekosistem investasi dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja; Pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMKM.
Namun terbitnya Perppu tak bikin suasana berbangsa dan bernegara lebih baik. Protes luas saat pembahasan RUU Ciptaker kini kembali bergaung. Para buruh keberatan substansi Perppu tak berubah. Di sektor pendidikan, sorotan sama perihal penyebutan izin pendirian lembaga pendidikan dengan istilah perizinan berusaha. Pasal pendidikan UU Ciptaker memberi ruang ke korporasi sebagai pengelola. Pendidikan yang seharusnya non-profit jadi berorientasi izin usaha/bisnis. Ujungnya pendidikan jadi komoditas.
Dari sisi hukum, berbagai elemen berkomentar pedas. YLBHI menganggap penerbitan Perppu bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta konstitusi. Presiden Jokowi seolah berupaya menunjukkan kekuasaan ada di tangannya, tanpa perlu pembahasan di DPR-RI dan melibatkan partisipasi publik.
Sementara ahli ekonomi menilai Perppu justru menciptakan ketidakpastian kebijakan. Bukannya meyakinkan investor, malah buat mereka ragu melihat pembentukan aturan terkesan asal-asalan, otoriter dan terburu-buru. Padahal investor butuh kepastian regulasi jangka panjang, bukan sekedar sampai 2024. Perppu Cipta Kerja juga tidak menjamin investasi meningkat. Sejauh ini banyak aturan turunan cipta kerja sudah berjalan bahkan sudah diadopsi produk hukum di tingkat daerah. Tapi investasi mangkrak masih tinggi.
Di sisi lain, ahli ekonomi menyebut bahwa alasan darurat Perppu bertolak belakang dengan sikap percaya diri Pemerintah. Saat KTT G20 Bali, Presiden Jokowi membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke negara lain. Kalau tumbuh positif lantas kenapa terbitkan Perppu? Agak lucu kekhawatiran muncul sekarang.
Argumentasi kepentingan ekonomi juga bikin bingung. Jika Perppu untuk antisipasi potensi ekonomi memburuk, kok jor-joran menguras duit negara untuk proyek tak menguntungkan semisal Kereta Cepat Indonesia-China dan pembangunan IKN? Lagipula, jika dalih Perppu untuk kepentingan investasi dalam negeri, harusnya porsi belanja ke daerah khususnya luar Jawa ditingkatkan. Percuma koar-koar bicara investasi dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA), tetapi infrastruktur mendasar saja masih bermasalah di daerah penghasil. Porsi pembangunan juga jangan terkonsentrasi di Jawa saja. Daerah penghasil kayak Riau sudah lama merasa getir. SDA dikuras tapi bagian diperoleh tak sepadan. Kondisi jalan banyak rusak karena aktivitas perusahaan perkebunan dan pertambangan, tapi uang banyak lari ke pusat. Sudahlah begitu, dana transfer daerah diakal-akali. Kewajiban ke daerah bertambah tapi kenaikannya tak signifikan.
Preseden Negatif
Kami selaku pihak penyelenggara pemerintahan daerah memandang dari perspektif sederhana. Yakni sejauh mana Perppu Ciptaker mendengar dan menyerap aspirasi daerah. Pembahasan ulang UU Ciptaker sebagaimana amanat putusan MK semakin urgen. Mengingat disinilah substansi sebuah peraturan yakni ruang partisipasi bagi elemen masyarakat dan pemangku kepentingan di daerah. Sejak awal pembahasan RUU Ciptaker bergulir, tak sedikit Kepala Daerah nyatakan keberatan.
Selain menggerus praktik desentralisasi dan otonomi daerah, Kepala Daerah merasa punya kewajiban moral meneruskan tuntutan kalangan buruh, akademisi dan lapisan masyarakat dalam aksi yang berlangsung masif dan luas. Terlebih setelah UU Ciptaker berjalan, terasa gejolak di daerah.
Contoh ribut-ribut pembukaan salah satu tempat hiburan malam di Pekanbaru. UU Cipta Kerja ikut sumbang masalah. Seperti diakui Kepala DPMPTSP Kota Pekanbaru, dengan sistem online sekarang Pemda tak lagi punya ruang gerak untuk turun ke lapangan lakukan pengawasan. Izin kategori usaha tertentu bisa terbit tanpa perlu cantumkan rekomendasi camat, lurah, RT dan RW. Sepintas memang efek UU Ciptaker memudahkan sektor usaha. Tapi mengenyampingkan usaha yang berdampak terhadap lingkungan.
Kemudian, aspek terpenting berikutnya adalah pembelajaran. Teruntuk kami legislator daerah, berharap contoh baik dan benar menyusun regulasi. Sayang keinginan tadi gagal dipenuhi. Ironis rasanya. Ketika penyusunan Perda, kami dituntut patuh terhadap tata cara dan pedoman penyusunan produk hukum serta aturan dari Pusat. Namun di level atas malah abai dan mengangkangi konstitusi.
Bicara Perda, ada pengalaman saat penyusunan Rancangan Perda provinsi yang berlarut-larut yaitu Ranperda Pemberdayaan Ormas. Ranperda dimaksud selesai dibahas di tingkat Pansus dan sudah difasilitasi ke Kemendagri. Hasil fasilitasi, Kemendagri meminta pengesahan Ranperda ditunda. Penyebabnya, Mendagri menerbitkan aturan baru menggabungkan semua Permen terkait Ormas. Pihak Kemendagri minta Ranperda Pemberdayaan Ormas Provinsi Riau untuk diselaraskan. Ternyata Permendagri baru rupanya belum ditandatangani Menteri. Alias masih draf. Anehnya pihak Kemendagri tetap meminta Ranperda dibahas ulang dan dilakukan penyesuaikan. Bagaimana mungkin aturan belum sah dipedomani?
Berkaca ke pemaparan di atas, tak heran banyak aturan digugat atau berselang beberapa waktu diralat atau dicabut oleh Presiden atau Pemerintah. Bicara Perda, Riau juga pernah punya aturan yang berujung gugatan di MK. Akan tetapi paska putusan, Pemprov bersama DPRD Riau memperbaikinya. Ini bentuk ketaatan terhadap tatanan hukum.
Adapun penerbitan Perppu Ciptaker menunjukkan Pemerintah justru tidak menghormati keputusan MK sebagai lembaga yudikatif. Ini berbahaya. MK sebagai pemegang kekuasaan yudikatif ketika tak lagi dihormati maka sistem demokrasi yang sudah dibangun puluhan tahun bisa kacau. Ini benar-benar preseden buruk
Apalagi sudah jelas MK dalam putusannya mensyaratkan UU Ciptaker untuk diulang proses penyusunannya disebabkan cacat formil dan bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mustahil aturan dapat menghadirkan kemaslahatan ketika prosesnya dicurangi.
Produk hukum dibuat seperti itu hanya akan dinikmati oleh pihak yang suka curang pula. Pusat idealnya teladan bagi daerah. Bukan seumpama tongkat bawa rebah. Diamanahi untuk menjaga konstitusi bukan merusakannya.
Penulis: H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota BAPEMPERDA DPRD Provinsi Riau)