Pendidikan Adalah Koentji

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Tanggal 2 Mei merupakan hari yang bersejarah dalam kalender negara kita. Setiap tahun pada tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia (Hardiknas). Momen ini sangat bernilai bagi bangsa Indonesia. Paling utama sebagai bentuk penghargaan terhadap Ki Hajar Dewantara yang merupakan salah satu tokoh krusial pembangunan pendidikan, pelopor dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa. Disamping unsur seremonial, Hardiknas juga saat tepat untuk kontemplasi menyeluruh atas kondisi pendidikan tanah air sebagai bahan evaluasi dan pembenahan. Apalagi di tengah usia kemerdekaan yang terus bertambah namun problematika pendidikan masih saja belum beranjak dari isu klasik. Sebut saja diantaranya putus sekolah. Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), di tahun ajaran 2020/2021 terdapat sekitar 83,7 ribu anak putus sekolah di seluruh Indonesia. Beralih ke daerah, Riau masuk peringkat atas daerah tertinggi angka putus sekolah. Berangkat dari masalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau melalui Dinas Pendidikan (Disdik) sudah membentuk tim Pengentasan Anak Tidak Sekolah (PANTAS). Program tadi berorientasi mewujudkan program wajib belajar 12 tahun, mengotimalkan pusat kegiatan belajar masyarakat PKBM lewat paket C dan program SMA terbuka khusus di daerah 3T terpencil serta memotivasi masyarakat orang tua bagaimana anak bisa bersekolah.

Namun akar persoalan angka putus sekolah yang dialami Riau tidak sesederhana yang dibayangkan. Penyebabnya bukan semata aspek geografi, ekonomi, kehidupan sosial atau perkara di pihak keluarga siswa. Keterbatasan sarana dan prasarana rupanya turut berkontribusi besar atas permasalahan. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau 2019-2024 diungkap kondisi bangunan sekolah di Riau sebagian besar dalam keadaan rusak. Selama dua tahun belakangan Pemprov Riau berupaya membangun ratusan Ruang Kelas Baru (RKB) di berbagai daerah. Akan tetapi kebutuhan jauh lebih tinggi daripada yang dibangun. Kesenjangan sarana pendidikan sekaligus mewakili ketimpangan pembangunan di Riau. Problematika kesenjangan di sektor pendidikan jelas penghambat utama mewujudkan kemajuan daerah jika tidak ditanggulangi secara sistematis dan responsif. Terutama di pelosok masih banyak warga jauh dari jangkauan sekolah. Laporan Disdik menyebut dari Angka Partisipasi Sekolah (APK) dari SMP/MTs ke SMA/SMK/MA terdapat puluhan ribu siswa tak tertampung setiap tahunnya. Belum beres PR kesenjangan sarana, datang pula pasal berikutnya soal kualitas sekolah yang bikin permasalahan tambah kompleks. Banyak orang tua siswa berebut dan berjuang memasukan anaknya ke sekolah “favorit”. Lagi-lagi topik kesenjangan muncul ke permukaan. Dipicu salah satunya distribusi tenaga pengajar. Publikasi statistik pendidikan Provinsi Riau yang didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau menyebut bahwa ada kesenjangan persentase guru layak mengajar di Riau. Belum optimalnya kebijakan penatakelolaan pendidikan baik itu manajemen secara garis besar sampai urusan teknis kayak zonasi memperkeruh kondisi. Implikasi belum meratanya sarana-prasarana sekolah negeri, kualitas sekolah dan manajemen di pemangku kebijakan memicu gejolak tiap tahun manakala Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Menyoal tenaga pengajar sebagai unsur paling substansial dalam dunia pendidikan menjadi benang kusut yang belum terurai sampai kini. Permasalahan klise ini tak kunjung tuntas. Dan ini sudah menjadi rahasia umum. Bisa kita saksikan bersama, miris rasanya menyimak kisah dan nasib guru honorer belakangan perihal perjuangan mereka dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) guru. Banyak diantaranya menghadapi kenyataan pahit hidup dalam situasi tanpa kejelasan masa depannya. Sudahlah begitu terus diberi harapan palsu. Meski dalam keadaan gamang, mereka tetap berupaya mengabdi mendidik anak bangsa. Termasuk honorer guru Riau merasakan kegundahan sama paska hasil seleksi yang diumumkan Maret lalu. Di tengah perjuangan menagih hak yang sudah dijamin oleh konstitusi untuk diangkat sebagai PPPK, masih saja ada oknum yang tega bermain, mempolitisasi dan membuyarkan asa mereka. Padahal secara syarat dan ketentuan di atas kertas dinilai sudah terpenuhi semua. Ironisnya peristiwa ini terjadi di tengah potensi dan ancaman kekurangan guru secara nasional. Berlarut-larutnya nasib dan ketidakjelasan masa depan PPPK guru sungguh sebuah kerugian besar. Problem klasik tersebut hanya akan menyeret bangsa ini surut ke belakang. Padahal negara maju sudah memberi contoh betapa guru adalah aset berharga. Bukan dihargai dari sisi lisan semata, tapi juga kelayakan kehidupan mereka.

Berangkat dari fenomena yang melanda sektor pendidikan memperlihatkan betapa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Ada dua problem utama: Pertama, menjamin akses pendidikan yang inklusif dan dapat dijangkau bagi segenap warga Negara. Kemudian kedua, memuliakan dunia pendidikan lewat keberpihakan kebijakan anggaran. Bersempena dengan peringatan Hardiknas, perhatian ke sektor pendidikan harus lebih ditingkatkan. Pemda mengemban amanah dalam menjamin terselenggaranya pendidikan di daerah. Kehadiran sekolah swasta juga harus dianggap sebagai bagian dari kebijakan pendidikan daerah. Jangan mentang-mentang swasta dibiarkan berjalan sendiri dan minim perhatian dari pemerintah. Karena dalam peraturan perundang-undangan jelas tercantum bahwa pendidikan merupakan kewajiban atau tugas Negara, bukan swasta. Bicara lingkup Pemda, Dinas Pendidikan Provinsi berperan sentral bagaimana menyelaraskan program di Dinas Pendidikan dengan visi dan misi Kepala Daerah. Untuk itu diharapkan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan inovatif sehingga dapat mengakselerasi peningkatan kualitas pendidikan di Provinsi Riau. Pucuk di dinas terkait, terutama Kepala Dinas dituntut punya kerangka berpikir level provinsi, bukan terpaku skala kabupaten saja. Dengan begitu program-program strategis dalam pembangunan SDM daerah dapat dicapai. Outputnya pendidikan Riau bisa menghasilkan insan daerah yang berdaya saing dan punya nilai kompetitif baik itu secara nasional bahkan internasional.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

RAMADHAN MODAL SOSIAL BERHARGA

Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebagaimana diketahui, terdapat perbedaan terkait jadwal permulaan puasa …