Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebagaimana diketahui, terdapat perbedaan terkait jadwal permulaan puasa lantaran perbedaan metode. Pemerintah belum menetapkan jadwal puasa Ramadhan 2024. Penetapan baru akan dilakukan melalui sidang Isbat 2024 yang dijadwalkan pada hari Ahad (10/03/2024). Adapun Organisasi Masyarakat (Ormas) terkemuka seperti Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berdasarkan maklumat hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang telah dirilis, sudah menetapkan 1 Ramadhan 1445 H jatuh pada hari Senin (11/03/2024). Maklumat barusan mencakup tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah 1445 H. Kendati begitu, perbedaan tidak semestinya diperuncing. Jangan sampai fokus kita terhadap esensi Ramadhan terganggu atau teralihkan. Ujung-ujungnya malah kehilangan momen menyambut bulan yang berlimpah berkah dihadapan mata. Sungguh sangat merugi apabila kita kehilangan anugerah Ramadhan nan luar biasa. Oleh karena itu mesti terus memperkaya wawasan dengan menggali hakikatnya.
Berkah Ramadhan bukan semata dirasakan umat muslim, tapi manusia bahkan semesta. Aura terasa sejak sebelum memasuki Ramadhan. Melalui beragam acara penyambutan (tarhib) di banyak wilayah Indonesia dan belahan dunia. Apatah lagi dalam Ramadhan. Dimana tingginya antusiasme dan dorongan berbuat kebaikan begitu kuat. Yang jarang ke masjid, di bulan Ramadhan terpacu shalat ke masjid. Yang semula malas membaca Al Qur’an, di bulan Ramadhan mantap hati melantunkan ayat suci saban waktu. Selain dampak positif ke personal, pemandangan paling jamak ditemui maraknya warga dan komunitas masyarakat bersedekah dan berbagi kayak takjil. Spirit dan atmosfir altruisme inilah yang dibutuhkan oleh komunitas masyarakat global. Makanya dalam ajaran Islam kepedulian tidak terpaku batas negara. Ramadhan juga memberi pelajaran sosial berharga bahwa kebaikan bukan perkara inisiatif yang cukup diserahkan ke masing-masing individu. Kebaikan butuh ekosistem dan dukungan lingkungan yang bisa memupuk dan menyuburkannya. Semaju apapun negara di dunia dengan perangkat hukum dan tata kelola negara termutakhir, tidak satupun mampu mengondisikan dan membentuk suasana sebagaimana dirasakan di bulan Ramadhan.
Berangkat dari nilai keberkahannya, tak heran banyak peristiwa bersejarah tercatat terjadi di bulan Ramadhan. Termasuk saksi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mulai Proklamasi Kemerdekaan RI yang bertepatan 9 Ramadhan 1364 H, dilanjutkan penyusunan landasan hukum penyelenggaraan negara, susunan pemerintahan dan pembentukan lembaga negara. Kemudian menyusul rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 (10 Ramadhan 1364 H) yang mengesahkan RUUD 1945 menjadi UUD 1945, Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden serta pengesahan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai cikal bakal lembaga DPR-RI. Paska kemerdekaan, 21 Juli 1947 bersamaan 3 Ramadhan 1366 H, Belanda melancarkan agresinya yang pertama. Kala itu perlawanan menyeruak di nusantara yang dimenangkan oleh segenap pejuang kemerdekaan.
Tradisi
Bicara fenomena bulan puasa di tanah air terbilang istimewa dan unik. Bulan Ramadhan yang melebur dengan kebiasaan masyarakat nusantara membuahkan tradisi. Ini modal berharga. Sebab tradisi dapat membentuk karakter insan bangsa. Sangat disayangkan sejumlah isu yang muncul belakangan justru terkesan mengurangi tradisi menyemarakkan Ramadhan. Salah satunya Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang kembali buat kontroversi lewat Surat Edaran (SE) aturan penggunaan pengeras suara untuk Ramadan 1445 Hijriah/2024. Dalam SE, Menag mengatur penggunaan pengeras suara Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara dalam. Padahal penggunaan pengeras suara di masjid dan musala sudah lama menjadi syiar di tengah masyarakat. Apalagi selama malam Ramadhan. Kalaupun ingin mengatur supaya volume disesuaikan jam istirahat sah-sah saja. Tapi kalau Menag sampai mengintervensi dan meminta pengeras suara ke dalam saat tarawih dan ceramah bakal mengundang reaksi buruk. Mau disebut pahlawan toleransi tapi sangat kesiangan.
Selain itu, tradisi lain yang patut dilestarikan yakni dorongan berpuasa. Semenjak dahulu, para orang tua kerap menjanjikan hadiah ke anak-anaknya yang berhasil puasa Ramadan sebulan penuh. Ketika sang anak sukses menjalankannya maka ada hadiah yang dijanjikan. Memang tidak besar, tetapi cukup bikin hati bahagia. Karena anak merasa usahanya diapresiasi. Kita semua pernah berada di fase tersebut. Terkenang masa berupaya berpuasa dan melaksanakan ibadah lain sekuat tenaga, meski bolong juga. Tapi memberi semangat supaya Ramadhan tahun berikutnya bertekad puasa sebulan penuh. Jarang kita merenung bahwa hadiah yang diberikan ibu atau ayah pada dasarnya serupa prinsip manajemen yakni bentuk penghargaan (reward). Ini sarana mendidik. Disamping wujud kasih sayang orangtua yang ingin anaknya lebih baik.
Manakala menginjak dewasa, pelajaran di atas terasa semakin berharga. Begitu penting memupuk tradisi menghargai kebaikan. Terlebih di zaman dimana kita menyaksikan orang berbuat baik dituding pamer atau dipojokkan sementara yang melakukan kezaliman malah dipuja dan dibela. Wajar kenapa kejahatan dan kezaliman makin merajalela. Orang yang tahu kebenaran memilih diam tak berkata. Di sisi lain, urgensi memperkuat tradisi menghargai kebaikan akan menggiring kita lebih suka mencari sisi baik seseorang daripada keburukan dan menjauhkan diri dari prasangka. Inilah secuil keistimewaan Ramadan yang menjangkau berbagai dimensi kehidupan. Di luar itu masih banyak lagi hal baik yang melembaga jadi tradisi. Semisal silaturahim yang terputus di bulan puasa menyambung kembali, komunikasi yang jarang bisa terjalin lagi seiring acara buka bersama atau tradisi bermaaf-maafan sebelum memasuki Ramadhan dan momen jelang lebaran. Berdasarkan pemaparan diperoleh kesimpulan, Ramadhan tidak semata memupuk kesalehan pribadi. Akan tetapi juga kesalehan sosial. Beramal baik bersama, peduli ke sesama, saling menasehati dan beramar makruf nahi munkar. Kolektivitas inilah modal sosial sangat berharga bagi bangsa.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.
ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU