Belum lama ini Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar menggelar silaturahim dengan para Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) se-Provinsi Riau di kediamannya (25/12/2021). Momen tadi tentu bernilai istimewa. Paska diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 (PP 11/2021) tentang Badan Usaha Milik Desa yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 40 Tahun 2021 (Permenkumham 40/2021) tentang Penerbitan Sertifikat Pendaftaran Badan Hukum Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama. Dalam kesempatan tersebut, Gubri meminta BUMDes lebih aktif dan progresif mengelola. Sehingga dapat memetakan potensi-potensi desa sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan desa dengan melirik dan menggali sumber daya potensial yang ada di desa untuk kemajuan pembangunan dan ekonomi masyarakat. BUMDes merupakan ikhtiar merevitalisasi peran desa sebagai pilar ekonomi bangsa sekaligus bentuk komitmen atas penerapan otonomi daerah.
Menyoal PP 11/2021, Pemerintah mengatakan aturan turunan tersebut penjabaran dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Meski sebenarnya BUMDes sudah lebih dulu diatur dalam UU 6/2014 tentang Desa, yang dijelaskan sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Sama halnya dengan BUMN dan BUMD, BUMDes juga berfungsi ganda. Disebutkan dalam Pasal 89 UU Desa, bahwa profit berupa pengembangan usaha dan nilai kemaslahatan bagi masyarakat berupa pembangunan desa, pemberdayaan manusia desa, pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). UU Ciptaker lalu menegaskan kedudukan BUMDes sebagai badan hukum. Dengan begitu dapat menjadi konsolidator produk atau jasa, produsen berbagai kebutuhan, dan inkubator usaha masyarakat.
Penguatan
Upaya memperkuat desa dalam perekonomian sangat fundamental dalam konteks kedaulatan bangsa. Bahkan Islam turut memberi perhatian khusus terhadap desa. Salah satunya sebuah hadist yang melarang orang kota menjualkan barang untuk orang desa. Ibnu Abbas RA pernah ditanya tentang maksud sabda Nabi, “Orang kota menjualkan barang untuk orang desa,” lalu ia menjawab, “Janganlah orang kota jadi makelar (perantara) bagi orang desa” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Melalui hadist barusan tersurat pesan betapa penting membangun sistem perekonomian yang dapat memproteksi dan berpihak kepada desa. Desa yang identik sebagai penghasil komoditi selalu jadi daya tarik bagi pedagang dari kota. Mereka selalu menawar barang dengan harga lebih rendah dari harga di pasar. Sementara pihak desa seringkali dalam posisi lemah dan tak mengetahui harga pasaran sebenarnya. Mayoritas ulama bersepakat mengharamkan cara tadi yang diistilahkan dengan talaqqi rukban.
Kita ingin cara yang sama dalam rangka merevitalisasi peran desa. Sehingga desa bisa berbuat lebih banyak dan punya posisi tawar lebih baik dalam perekonomian. Kembali ke BUMDes, mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo saat peluncuran Sertifikat Badan Hukum BUMDes dalam Rakornas BUMDes 2021, bahwa sertifikat bukan sekedar secarik kertas. Tapi pemicu lahir dan tumbuhnya usaha dari desa serta aspek penting dalam urusan manajerial. Dengan tata kelola urusan desa yang terus membaik akan dapat mencapai potensi yang diharapkan. Kita memaklumi proses ini tak instan. Pasti selalu ada cela dan kekurangan. Untuk itu perlu komitmen dan kepedulian. Terutama Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki peran sentral. Dalam aspek pembinaan dan pendampingan pemerintah desa mengelola BUMDes. Pendampingan dimaksud disamping mulai sifatnya teknis seperti capacity building hingga berupa bantuan permodalan dan hibah. Karena Pemerintah desa perlu kecakapan memilih jenis usaha akan dikembangkan dan potensial mendatangkan keuntungan.
Hingga kini, secara umum untuk desa sudah lebih Rp400 T Dana Desa digelontorkan Pemerintah dalam tujuh tahun terakhir. Begitujuga Pemda. Untuk BUMDes misalnya, Pemprov Riau sudah menganggarkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Riau seiring kemajuan positif BUMDes di Riau. Baik secara kualitas organisasi maupun kualitas bisnis. Kami di legislatif mengapresiasi skema baru pengalokasian dana BKK tahun 2022, yang mana alokasi BUMDes tak lagi disamakan. Melainkan berdasar kategori yakni: dasar, tumbuh, berkembang dan maju. Namun pendekatan baru tersebut diharapkan tak hanya fokus ke usaha berkembang dan maju. Sedangkan kategori di bawahnya dianaktirikan atau tidak diperhatikan. Kacamata tadi justru bisa blunder sebab akan membatasi perkembangan usaha desa. Yang kuat semakin mendominasi sementara yang lemah perlahan mati. Kita ingin dari semula 3 usaha bertambah 5 begitu seterusnya berlipat ganda. Cara memotivasi dan memacu daya saing BUMDes memang bagus, tapi pendekatannya harus multi perspektif.
Masih perihal aspek dukungan, perlu menjembatani kerjasama dan memfasilitasi kolaborasi BUMDes dengan sektor perbankan atau BUMN atau BUMD dan pihak swasta. Pemprov Riau mempunyai BUMD dengan keunggulan dengan prospek masing-masing. Melalui sinergi dan kolaborasi diyakini akan dapat mengakselerasi pencapaian visi dan misi serta rencana pembangunan daerah. Kombinasi antara BUMDes dan dana desa yang digulirkan merupakan peluang untuk mensinergikan dengan berbagai program daerah. Contoh dalam mendukung ketahanan pangan daerah melalui kolaborasi antara BUMDes dengan BUMD atau pihak swasta. Orientasi ke program intensifikasi pertanian yang bisa meningkatkan hasil panen dan lumbung pangan. Mengingat desa basis sektor pertanian dan perkebunan, maka keberadaan sektor tadi sebagai penunjang eksistensi desa harus tetap dijaga dan dipertahankan. Jadi bukan mengganti dengan sektor baru yang dapat menghilangkan nilai unggul khas desa. Terlebih berkaca ke selama pandemi, kontribusi sektor perkebunan dan pertanian tumbuh positif di saat sektor lain meredup bahkan minus. Ke depan tren dan prospek sektor dimaksud diprediksi bakal semakin menjanjikan.
Dukungan Kebijakan
Disamping pendekatan di atas, revitalisasi desa butuh konsistensi regulasi dan kebijakan. Ini perlu disampaikan. Terlebih belakangan ada polemik setelah terbit Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022. Aturan diprotes keras oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Pangkal masalah, PP tersebut mewajibkan alokasi 40 persen Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD). Pemerintah desa mengaku kesulitan menerapkan aturan karena situasi dan kondisi setiap desa berbeda-beda, ada penduduknya banyak ada pula desa penduduk sedikit. Kantor Staf Presiden (KSP), berdasarkan verifikasi ke lapangan membenarkan bahwa ternyata tak semua desa punya dana desa memadai untuk penyaluran BLT. Jadi agak lucu aturan ini. Protes datang selain dinilai tidak menghormati kewenangan desa sebagaimana diamahkan UU Desa, aturan Pemerintah justru berpotensi jerat hukum bagi pihak desa. Hal-hal begini seharusnya tak terjadi. Ujungnya malah kontraproduktif. Pemerintah sudah di jalur tepat memprioritaskan pemulihan ekonomi dengan merevitalisasi BUMDes dan pengembangan ekonomi mikro. Tapi jangan malah dibebankan ke dana desa. Toh tanpa aturan tersebut dana desa sudah dipakai untuk jaring pengaman sosial.
Sebagai penutup perlu ditekankan bahwa urgensi merevitalisasi desa bukan semata amanah konstitusi. Tapi itulah jati diri bangsa. Bicara desa tidak bisa dilepaskan dari bicara ikatan sejarah. Pilar yang menahan berdirinya republik sejak merebut kemerdekaan hingga kini dan di masa mendatang. Dalam upaya memperkuat desa, Pemerintah harus lebih banyak mendengar suara dari bawah. Karena pola pembangunan akan sukses ketika berlangsung dari bawah ke atas. Praktik sentralisasi sudah terbukti gagal membawa negeri menuju ke kesejahteraan. Tak muluk rasanya mengatakan agenda pemulihan ekonomi bangsa diawali dengan mengembalikan desa ke peran utamanya sebagai penggerak ekonomi daerah dan nasional.
By. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau