Riau dan Mimpi Asia Tenggara

Bulan Juli punya arti penting bagi Riau. Banyak pelajaran dari masa lalu sebagai bekal menapaki kehidupan kini dan masa mendatang. Paling mengemuka sejarah terbentuknya Riau, dimana pada 1 Juli 1957 Riau dan Jambi disetujui menjadi Provinsi sendiri. Seiring berjalan waktu, terjadi perubahan secara administratif. Setelah berlakunya pelaksanaan otonomi daerah, muncul daerah-daerah baru di Indonesia, tak terkecuali Riau. Terhitung mulai 1 Juli pula terjadi peristiwa bersejarah paska reformasi dimana tepatnya di tahun 2004 Kepulauan Riau resmi ditetapkan menjadi provinsi ke-32 di Indonesia. Momentum tadi membuat Provinsi Riau yang semula 16 Kabupaten/Kota kemudian menjadi 12 Kabupaten/Kota. Keinginan dibalik peristiwa sejarah terutama Otoda adalah ada dampak signifikan bagi pembangunan dan kesejahteraan. Baik itu bagi daerah yang ditetapkan sebagai provinsi baru dan daerah yang semula induk.

Dalam perjalanannya, Provinsi Riau mengalami banyak perubahan, perkembangan dan kemajuan. Namun setakad ini Riau belum bisa disebut sudah berada pada capaian terbaiknya. Artinya, proses dan progress masih berlangsung. Asa dan do’a terbaik semoga Riau dapat mencapai cita-citanya sebagaimana yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan daerah. Sehubungan dengan itu, pertanyaan menarik untuk diangkat adalah apakah Riau sudah di jalur yang tepat dalam rangka mewujudkan visi sebagaimana yang tercantum dalam RPJPD Provinsi Riau 2005-2025? Yakni terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan bathin, di Asia Tenggara Tahun 2020.

Namun tulisan tidak akan mengulas satu persatu capaian dari indikator-indikator visi di atas. Narasi lebih menantang untuk diajukan bahwa Riau punya kans menjadi terdepan di Asia Tenggara. Hal ini menarik diangkat mengingat Riau punya modal sangat memadai menuju ke sana. Secara geografis didukung dengan kawasan perairan dan daratan yang luas. Belum lagi bicara aspek Sumber Daya Alam (SDA) sebagai bahan baku berikut Sumber Daya Manusia (SDM) nya. Tinggal bagaimana mengelola potensi ini. Dari semua itu ada sektor penting lain pantas untuk diulas yakni tentang perhubungan dan transportasi sebagai kunci untuk mengoptimalkan segenap sumber daya yang ada berikut menjadi penentu capaian Riau dalam sejarah masa lalunya, masa kini dan menjelang.

Transportasi dan Ekonomi

Menyoal transportasi dan perhubungan, Juli juga menyimpan kenangan istimewa bagi Riau. Sejarah berdirinya bandara udara yang dulu dikenal dengan nama lapangan terbang Simpang Tiga cikal bakal Bandara Sultan Syarif Kasim II yang kita kenal sekarang, boleh dibilang pondasi penting. Bandara itu dibangun oleh Belanda, setelah mendapat izin dari Sultan Siak. Pemberian izin pembangunan lapangan terbang tertuang dalam surat Sultan Siak No 9 tanggal 10 Juli 1930. Sultan Siak menghibahkan tanah untuk lapangan udara seluas 3.270 hektare. Melalui lapangan udara Simpang Tiga, hubungan Belanda dengan dunia luar semakin lancar. Selain menjadi pangkalan militer penting, keuntungan terbesar lain bagi Belanda untuk misi perdagangan. Ketika kekuasaan beralih dari Belanda ke Jepang, Simpang Tiga juga menjadi pangkalan militer udara Jepang dan kunci penting dalam memantau konstelasi di Selat Malaka. Di bulan Juli pula Presiden Soekarno pertama kali mendarat di lapangan udara Pekanbaru. Kedatangannya di tahun 1948 itu menggunakan pesawat RI 002 punya arti penting dalam peristiwa kemerdekaan.

Dari kisah lalu tadi tergambar jelas Riau tak bisa dipandang sebelah mata. Bagi imprealis, Riau punya posisi penting menaklukan Asia Tenggara. Lapangan udara Simpang Tiga saksi hidup. Sejarahnya pelajaran berharga untuk mewujudkan kans Riau sebagai pemain utama di Asia Tenggara. Untuk menggapai visi itu tentu tidak mudah. Butuh grand design agar nilai strategis secara geografis dapat dioptimalkan. Secara praktis, kebutuhan moda angkutan akibat mobilitas tinggi akan mempercepat roda perekonomian dan meingkatkan kesejahteraan masyarakat. Tak hanya bagi daerah tapi juga negara. Khusus mengenai bandara, bukan semata pelayanan bagi para pengguna jasa angkutan. Namun juga menopang sektor usaha lain seperti ritel dan bongkar muat, kargo domestik maupun internasional. Untuk itu, perlu sinergi pemerintah pusat dan daerah agar fasilitas infrastruktur, bandara, jalan raya dan pelabuhan dapat terintegrasi. Perlunya grand design semakin urgen mengingat pembangunan belakangan ternyata terkesan tanpa arah. Sampai-sampai Presiden Jokowi kesal sebab banyak proyek tak jelas, bangun pelabuhan dan bandara tapi tak ada aksesnya (27/5/2021).

Terintegrasi

Bandara patut menjadi concern. Disamping nilai historisnya bagi Riau dan kepentingan di masa mendatang. Apalagi ada wacana Pemerintah Pusat bakal menata dan mengurangi keberadaan bandara internasional. Wacana kebijakan tadi dinilai kontradiksi dengan keinginan presiden Jokowi yang dulunya begitu semangat membangun bandara bertaraf internasional. Wacana tadi digulirkan berangkat dari data Kemenhub 2017, dari total 296 bandara Indonesia yang berstatus bandara internasional sekitar 27. Jumlah itu disebut terlalu banyak. Namun ada positifnya bagi kepentingan daerah terutama pariwisata dan perekonomian. Sebab Wisman bisa langsung ke obyek wisata. Penduduk daerah juga bisa langsung terkoneksi dengan luar negeri, tanpa melewati kota lain. Namun, pemerintah pusat memandang dari sisi bisnis penerbangan dan pertahanan nasional justru mengkhawatirkan sebab kebanyakan yang menangguk keuntungan maskapai asing. Bagi Riau wacana tadi bak dua sisi mata uang: bisa jadi ancaman dan peluang. Ancaman jika Bandara SSK II tak lagi berstatus bandara internasional. Namun jika terjadi pengurangan, Riau perlu strategi untuk mempertahankan status bandara internasional.

Modal utama untuk meyakinkan selain geografis Riau yang strategis, juga perlu perencanaan perhubungan dan transportasi terintegrasi. Usulan Pemprov Riau merelokasi Bandara SSK II Pekanbaru agar ditampung di RPJMN 2020-2024 boleh saja mengundang silang pendapat di tengah publik. Alasan utama lantaran lokasi bandara berada di pusat kota, sehingga dipandang tidak lagi memadai ditinjau dari Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP). Namun jika Pemprov punya argumentasi tepat dan didukung dokumen perencanaan matang perihal rekayasa infrastruktur perhubungan dan transportasi di Riau ke depan, patut dipertimbangkan. Tentunya dengan melibatkan segenap pemangku kepentingan. Boleh jadi relokasi jadi terobosan untuk memiliki bandara yang lebih representatif dan kompetitif. Dengan posisi Riau yang berdekatan dengan negara tetangga, bandara Riau punya prospek menjanjikan bagi kepentingan Indonesia berkompetisi dengan bandara Malaysia dengan KLIA dan Kuala Lumpur berikut Singapura dengan Changi. Dengan keterkaitan dan konektivitas pelabuhan, bandara dan berpadu dengan keterdukungan jalan raya, Riau diyakini meraih keuntungan ekonomi lebih besar ke depan dan bukan mustahil turut memainkan peran penting di Asia Tenggara.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Anggota DPRD Riau Abdul Kasim Minta Perbaikan Jalan Tuntas Sebelum Arus Mudik 

Dumai – Anggota DPRD Provinsi Riau dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, H Abdul Kasim SH, …