“FPI resmi dibubarkan!”. Begitu judul menghiasi headline media kebanyakan paska terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI, yang dibacakan di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta pada hari Rabu jelang akhir tahun (30/12/2020). Tidak main-main, setelah dulu menerbitkan Perppu 2/2017 Ormas ditandai dengan dibubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Pemerintah dibawah kepemimpinan Joko Widodo melanjutkan sepak terjangnya terhadap Ormas dengan melarang aktivitas FPI. Bahkan sampai “6 menteri”! Seakan belum cukup, saat diumumkan hadir pula 5 jenderal mendampingi Menko Polhukam. Lini dunia maya riuh mengomentari luar biasanya Ormas dipimpin Muhammad Habib Rizieq Shihab itu.
Setelah FPI dibubarkan masih membekas pertanyaan. Tapi yang diulas dalam ruang terbatas ini bukan FPI-nya, tetapi masa depan penerapan regulasi dan peraturan perundang-undangan terkait Ormas, terutama di daerah. Apalagi terbitnya SKB khusus untuk satu Ormas tersebut dimata para pakar hukum terasa membingungkan. Terlebih lagi di masyarakat awam dan pengurus serta anggota Ormas. Sedangkan kami di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau yang diamanahi di Panitia Khusus (Pansus) pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Provinsi Riau tentang Pemberdayaan Ormas lebih mengkhawatirkan penerapan peraturan terkait Ormas ke depan, yang hingga kini draf Ranperda masih dalam proses fasilitasi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Setelah selesai, maka bisa disahkan dan berlakulah di bumi lancang kuning.
Kekhawatiran di atas cukup beralasan. Mengutip pemberitaan media massa, ada 6 poin SKB. Secara garis besar menyebut aktivitas FPI melanggar pasal larangan Ormas sebagaimana diatur dalam UU 17/2013 dan Perppu tentang Ormas. Disamping itu persoalan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI yang sudah expired dan belum memenuhi syarat perpanjangan sehingga Pemerintah menilai FPI sudah “bubar secara de jure” karena tidak memperpanjang SKT. Uniknya dalam SKB dan lisan pejabat saat pengumuman surat pamungkas tidak menyebut FPI sebagai organisasi terlarang, dibubarkan atau illegal. Jadi wajar kenapa disebut membinggungkan. Sepertinya Pemerintah sadar penggunaan istilah dilarang dan pembubaran dan illegal tidak ada dasar hukum, mudah diprotes atau digugat karena tidak sesuai kebebasan berserikat.
Rancu
Isu paling menarik soal legalitas dan statement keharusan mendaftar. Pelarangan FPI atas dasar SKT jelas membuat implementasi regulasi ke depan rancu. Pemerintah kayaknya sudah membuat kewenangan baru diluar peraturan yang ada. Pansus DPRD Provinsi Riau dalam proses pembahasan Ranperda tentang Pemberdayaan Ormas mulanya juga ada yang berkeinginan mewajibkan Ormas mendaftarkan keberadaan dan kepengurusannya ke Pemerintah Daerah (Pemda), yang dalam hal ini ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).
Akan tetapi dari kunjungan ke Direktorat Ormas Kemendagri dalam rangka meminta bimbingan dan arahan, didapat hasil bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi RI mengenai UU 17/2013 tentang Ormas tetap jadi pedoman penyusunan payung hukum Ormas di tingkat daerah. Putusan MK dimaksud adalah SKT dan pendaftaran Ormas. MK menyatakan bahwa Ormas dapat mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah dan dapat pula tidak mendaftarkan diri. Putusan MK juga menyebutkan pasal mewajibkan Ormas/perkumpulan memiliki SKT yang diatur dalam UU 17/2013 bertentangan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang dijamin pasal 28 UUD 1945. Lagipula dalam UU 17/2013 Negara mengakui bentuk Ormas bisa berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Artinya mewajibkan Ormas mendaftar dan memiliki SKT tak ada pijakan hukum jelas dan tidak konsisten dengan pengakuan terhadap 2 bentuk Ormas. Simpelnya, Ormas yang tidak berbadan hukum secara administratif statusnya disebut tidak terdaftar bukan dianggap bubar. Adapun di draf Ranperda tentang Pemberdayaan Ormas, konsekuensi bagi yang tidak terdaftar tidak berhak atas bantuan dana dari APBD, fasilitasi kebijakan dan tidak dilibatkan dalam kegiatan Pemda. Selain itu sulit juga mewajibkan semua Ormas mendaftar. Ormas pasti mikir apa nilai manfaat bagi mereka? Dalam pembahasan Pansus, Pemprov Riau saja “keberatan” dicantumkan redaksi pendanaan Ormas dapat bersumber dari anggaran daerah, meski sah secara peraturan perundang-undangan.
Pembinaan
Selain urusan mendaftar, penghentian dan pelarangan Ormas karena pelanggaran mesti dilakukan secara bijak. Mengacu ke peraturan Ormas ada tahapan persuasif dan peringatan. Sehingga Pemda bisa menegur Ormas bersangkutan. Bukan langsung diputuskan sepihak. Bila ada tindak pidana personal, jelas tak adil satu organisasi dihukum. Seumpama satu partai politik banyak kadernya korupsi lantas apa partai itu dibubarkan? Kan tidak seperti itu juga logikanya. Wajar muncul kekhawatiran atas cara ala SKB. Apalagi sekarang delik hukum bisa dicari-cari: benar bisa dibuat salah.
Kami selaku utusan fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Provinsi Riau di Pansus, memandang perlu kejelasan hukum. Kami mendukung sikap Pemerintah menindak Ormas yang melanggar larangan yang diatur dalam di UU 16/2017. Tapi harus merata dan tanpa pandang Ormasnya. Sudah rahasia umum ada Ormas melakukan tindak kekerasan, mengganggu ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, yang mengacu ke UU tentang Ormas terkategori larangan berat. Pemerintah pasti tahu Ormas dimaksud. Herannya masih saja eksis tanpa ada tindakan. Padahal nyata-nyata meresahkan masyarakat dan memperburuk citra Ormas sebagai modal sosial bangsa.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepastian penegakan regulasi Ormas dipandang urgen. Jika Pemerintah ingin tegas jangan hanya berhenti di FPI. Penegakan harus adil dan harus bersandarkan pada regulasi bukan sudut pandang kekuasaan. Ketakutan ke depan ketika daerah menerbitkan payung hukum mengenai Ormas. Lalu pendekatan yang ditempuh Pemerintah Pusat ditiru di daerah. Bisa saja dipakai untuk menindak Ormas-Ormas di daerah. karena ada Ormas yang keberadaannya horror bagi Pemda karena sering nyinyir soal anggaran proyek dan kegiatan. Sebenarnya fungsi watchdog baik dalam rangka menjamin kegiatan tersebut berjalan, meminimalisir penyelewangan dan manfaat benar-benar dirasakan masyarakat. Meski ada Ormas melakukannya untuk memeras, tapi tidak semua. Yang memeras pantas diambil langkah tegas. Tapi yang mendukung pengawasan patut diberi penghargaan.
Pelaksanaan aturan Ormas pada dasarnya baik untuk menjaga eksistensi Ormas. Meski berpeluang dipakai demi kepentingan kekuasaan. Aturan Ormas semestinya untuk membina Ormas bukan “membinasakan” Ormas, terutama yang dianggap merepotkan atau tidak sejalan. Di era sekarang pendekatan represif dan arogan harusnya dicoret dari kamus Pemerintah. Pembubaran suatu Ormas bukan solusi. Buktinya FPI udah ancang-ancang bikin Ormas baru dengan nama tidak jauh beda. Jadi mau sampai kapan berlangsung? Pendekatan terhadap Ormas ke depan perlu ditempuh secara demokratis dan lebih dewasa dengan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan. supaya energi bangsa dan fokus Pemerintah habis hanya untuk mengurus Ormas. Banyak urusan lain yang jauh lebih penting.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA PANSUS RANCANGAN PERDA TENTANG PEMBERDAYAAN ORMAS DPRD PROVINSI RIAU