2023 DAN ASA LEBIH BAIK

Saat tulisan ini dibuat tepat berada di penghujung tahun 2022 dan menghitung jam jelang tahun 2023. Memasuki babak baru dan kalender baru tentu banyak asa. Baik dari diri pribadi, komunitas, masyarakat serta berbangsa dan bernegara. Kita selalu menginginkan kehidupan lebih baik meski kadangkala pencapaian tak selalu apik. Oleh karena itu, selain mengukir harapan, perlu refleksi ke belakang untuk mengevaluasi kekurangan sembari menginventarisir mana kira-kira penting disikapi di masa mendatang. Bukan berarti permasalahan lain tak penting. Tapi ini lebih kepada skala prioritas. Berbekal pengenalan terhadap isu-isu, dapat disusun perencanaan atau menyempurnakan pendekatan yang sudah berjalan. Salah satu paradigma bisa dipraktekkan: berharap yang terbaik berencana menghadapi yang terburuk. Konsekuensi dari pola pikir barusan, setiap urusan wajib ada perencanaan matang. Jadi, setiap keinginan tidak sekedar ungkapan optimis, tapi juga terukur. Tindakan dan aksi yang akan ditempuh pun tidak grasa-grusu dan spontanitas. Ujungnya bukan menyelesaikan, malah menambah masalah baru. Kami selaku pihak penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi Riau menaruh perhatian besar pada urusan daerah dalam rangka menyikapi peluang dan tantangan di hadapan. Dengan begitu diperoleh gambaran kesiapan dari sisi pengambil kebijakan.

Bicara problematika tentu banyak. Namun apapun itu, mengutip perkataan Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar saat menghadiri Penyerahan Piagam Penghargaan dari Kapolda Riau di Halaman Mapolda Riau baru-baru ini (29/12/2022), dibutuhkan sinergitas dan kolaborasi. Terlebih untuk mengatasi dan menghadapi berbagai tantangan di tahun 2023 mendatang yang semakin sulit diprediksi. Dalam kesempatan kali ini kami lebih cenderung mengangkat hal yang menjadi bidang Komisi V DPRD Provinsi Riau. Adapun dianggap menonjol tentu perihal sektor pendidikan dan kesehatan. Sebab, berkaca dari tahun 2022 dan tahun sebelumnya, sejumlah persoalan masih memerlukan atensi khusus.

Pertama, teruntuk sektor pendidikan, urgensi masih mengatasi kesenjangan pendidikan dan menekan angka putus sekolah. Upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau boleh dibilang sudah reponsif. Mengalokasikan pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) dan rehabilitasi. Disamping itu Pemprov Riau juga mesti mewujudkan pemerataan perhatian tidak hanya ke sekolah negeri tapi juga sekolah swasta. Termasuk melibatkan mereka lebih intens dalam setiap forum pendidikan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait di tingkat provinsi. Karena pendidikan pada dasarnya tanggungjawab Pemerintah bukan swasta. Selain pemerataan pendidikan, penyelesaian berlarut-larutnya pengangkatan honorer guru menjadi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Peran Pemprov dalam hal ini sangat vital mengingat formasi ditangani oleh daerah. Kepastian status bagi tenaga honorer guru makin mendesak asbab ancaman “tsunami” kekurangan guru di depan mata. Begitujuga pemerataan guru di daerah yang harus dipenuhi untuk memastikan proses pendidikan dapat berjalan. Di luar itu, kepastian masa depan juga untuk menyelamatkan para guru dari munculnya perkara baru. Semisal temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat mengungkapkan fakta terbaru terkait Pinjaman Online (Pinjol). Berdasarkan survei yang dilakukan NoLimit Indonesia pada 2021, terungkap 42 persen masyarakat yang terjerat Pinjol adalah guru dan kebanyakan adalah guru honorer. Fakta ini tak bisa dianggap sepele. Sepintas mungkin dilihat ini murni urusan pribadi. Tapi kurang adil memandang begitu apalagi sampai menghakimi bahwa mereka berstatus figur pendidik semestinya bertindak rasional dan melek literasi finansial. Kalau dikaji lebih dalam fenomena tadi, bakal didapati fakta miris. Bahwa 42 persen guru yang terjebak pinjol berstatus guru honorer atau swasta dengan upah tidak layak. Artinya mereka terjerat rentenir dampak dari rendahnya gaji. Harus disadari, masih banyak guru khususnya honorer berjuang sekedar penuhi kebutuhan hidup. Bahkan guru di daerah ada bergaji sebulan Rp 500 ribu. Bagaimana mau sejahtera, memenuhi upah minimum saja tidak. Akhirnya ada yang gelap mata, pakai jalan pintas. Solusi paling mudah digapai guna memenuhi kebutuhan hidup ya ikut Pinjol.

Kemudian kedua sektor kesehatan. Perlu mendapat perhatian pengentasan kekurangan gizi dan stunting atau gagal tumbuh pada anak. Dalam situasi dan kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih dan paska kenaikan harga BBM berikut berbagai harga komoditas, angka stunting dan kemiskinan lebih cepat bertambah dibanding upaya mengatasinya. Oleh karena itu, fokus sekarang jangan hanya berkutat menekan angka di atas kertas. Tetapi bagaimana menyempurnakan ikhtiar. Apalagi stunting ini kompleks. Tak terlepas dari kemiskinan ekstrim dan lain-lain. Di sinilah negara dituntut menghadirkan sila ke lima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anehnya malah bikin kebijakan menyubsidi kalangan mampu kayak kebijakan insentif mobil listrik. Sementara masyarakat tak mampu secara jumlah jauh lebih banyak dan lebih berhak atas subsidi. Terkhusus Riau, tekad Pemprov patut diapresiasi. Terlebih telah ada Satuan Tugas (Satgas) stunting hingga ke tingkat desa. Kendati begitu, tak cukup andalkan pendekatan birokrasi. Langkah Gubri minta perusahaan swasta di Riau ikut terlibat sudah tepat. Akan tetapi, Pemprov Riau harus lebih dulu beri teladan dengan tampil all out mengerahkan segala yang dimilikinya.

Disamping melalui OPD, peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga perlu dioptimalkan. Sebab secara peraturan perundang-undangan fungsi BUMD bukan semata cari untung. BUMD dapat mengerjakan hal-hal dianggap kurang menguntungkan secara profit tapi bermanfaat dalam konteks kepentingan daerah. Kolaborasi pengentasan masalah daerah seperti stunting melalui pelibatan BUMD menawarkan banyak keunggulan. Meski meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan sosial tak termasuk sisi profit, namun tujuan tadi bisa dicapai secara efektif dan efisien ketika memakai mekanisme korporasi pada BUMD. Sebab kalau andalkan pendekatan birokrasi niscaya upaya mengatasi stunting dan isu seputarnya bakal lambat. Karena banyak yang tidak bisa dilakukan lewat birokrasi yang cenderung kaku. Beda dengan korporasi BUMD, tersedia ruang untuk ambil kebijakan fleksibel, cepat dan efektif. Setakad ini, Bank Riau Kepri (BRK) Syariah sudah berpartisipasi membagikan bantuan makanan tambahan untuk Balita dan makanan sehat ibu hamil yang diserahkan secara simbolis pada kegiatan pencanangan gerakan nasional bumil sehat di Provinsi (22/12). Program ini selaras dengan kepentingan daerah dalam rangka pencegahan dan penurunan angka stunting dan menjaga kesehatan ibu hamil.

Namun kami berharap terobosan lebih galak lagi. Menkolaborasi dua “tangan” Pemerintah yaitu birokrasi di OPD dan korporasi di BUMD dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan sosial di bumi lancang kuning. Kembali menekankan ke BUMD, bisa memainkan peran penting. Sayangnya Riau belum punya BUMD pangan. Padahal perannya signifikan. Tidak hanya kejar unsur profit penyediaan komoditas pangan dan berkontribusi mewujudkan ketahanan pangan di daerah, paling utama optimalisasi pencegahan stunting. Contoh BUMD milik Pemda DKI Jakarta yaitu PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ). FSTJ berperan dalam kampanye pemenuhan gizi seimbang sejak dini dan pengurangan kesenjangan mikro nutrisi. Menggandeng komunitas ibu dan anak, FSTJ membagikan makanan bergizi secara rutin serta dipantau kesehatannya melalui Puskesmas setempat sebab mereka bersinergi dengan Dinas Kesehatan DKI. Menariknya lagi, FSTJ juga menelurkan produk hasil inovasi berupa beras bernutrisi yang kini sudah tersedia di market dan e-commerce. Beras tersebut diklaim baik sebagai asupan bergizi dan pendamping ASI. Perpaduan pendekatan birokrasi dan korporasi tadi bisa ditiru Pemprov Riau dalam program pencegahan stunting. Dalam konteks Riau, Gubri mendorong BUMD supaya bekerjasama dengan perguruan tinggi yang ada di Riau yang punya keunggulan dalam penelitian dan pengembangan produk pangan. Sinergi dan kolaborasi inilah yang dikehendaki sebagaimana pidato Gubri. Mengatasi segudang permasalahan akan sulit bila dipikul sendiri. Sekarang kuncinya sejauhmana kepemimpinan daerah punya kemampuan merangkul pemangku kepentingan dan berbagai elemen untuk bersama-sama peduli isu daerah. Tentunya mesti diawali dengan sikap keterbukaan. Sehingga tidak terkesan saat ada masalah saja mendatangi dan mengajak kolaborasi.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

KEMITRAAN KUNCI KEMAJUAN

Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menempati posisi pertama jenis pekerjaan yang menyumbang banyak tenaga …