Kita memasuki awal tahun 2021 dalam suasana duka. Berbagai musibah dan bencana terjadi secara beruntun sejak permulaan Januari 2021. Menurut BNPB ada 136 bencana alam. Alarm kewaspadaan perlu ditingkatkan melihat bencana dipengaruhi cuaca (hidrometeorologi) berupa banjir sebanyak 95 kejadian dan tanah longsor 25 kejadian. Paling menyita perhatian banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang tergolong besar melanda hampir seluruh kabupaten/kota. Korban jiwa lebih 20 orang meninggal dan lebih 60 ribu orang mengungsi. Melalui tulisan ini sekaligus mengajak kita berkirim do’a dan dukungan baik moril dan materil kepada saudara ditimpa bencana.
Mengacu kepada data dapat disimpulkan bencana makin meluas. Banjir memang bukan pertama kali. Tapi mengkhawatirkan melihat tren dan intensitas belakangan. Apa yang terjadi di Kalsel selayaknya ditanggapi serius pemerintah pusat dan daerah. Mengkaji kembali cara dan pendekatan pengelolaan lingkungan. Apa yang terjadi di Kalsel punya titik temu dengan daerah lain. Sangat disayangkan pernyataan Pemerintah yang diwakili Presiden Jokowi perihal pemicu banjir agak dangkal. Hanya mempersoalkan faktor tingginya curah hujan. Di satu sisi terkesan mengaburkan ekses lain dan di sisi lain hujan yang mesti disyukuri sebagai rahmat Tuhan justru dianggap pemicu bencana.
Padahal ada isu lain yang ditenggarai penyebab utama seperti eksploitasi lahan, penggundulan hutan atau deforestasi yang terjadi secara terus menerus dan lain-lain. Fenomena terjadi hampir diseluruh daratan Indonesia, termasuk Riau. Dengan kondisi hutan alam di Riau tersisa seluas 1.442.669 hektare dari 6.727.546 hektare pada 1982, jelas sebuah ancaman. Kondisi hutan dan lahan gambut di Riau terus mengalami kerusakan. Baik itu disebabkan alih fungsi, subsidensi, abrasi dan intrusi air laut serta kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Sampai-sampai Kepala Daerah Riau pun terjerat hukum.
“Dosa”
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum: 41)
Petikan ayat Al Qur’an di atas patut kita ambil sebagai pelajaran. Bahwa bencana sesungguhnya berawal dari perbuatan manusia. Maka tepat dipakai kata “dosa”. Bukan semata perbuatan maksiat/penyimpangan, tapi juga kesalahan berinteraksi dengan alam. Ketika salah kelola, efeknya kembali dalam bentuk musibah. Mirisnya bukan saja pelaku “dosa”, semua terkena imbas. Relevan dengan ini, dalam tema lingkungan dikenal istilah ekosida yang berarti bunuh diri secara ekologis. Bahwa kelalaian menjaga alam merupakan jalan menuju ke kehancuran. Bicara kerugian tak terbilang. Disamping paling utama korban jiwa juga kerugian ekonomi. Contoh banjir Kalsel, menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kerugian diperkirakan sekitar Rp 1,349 triliun. Perkiraan tersebut meliputi berbagai sektor mulai pendidikan hingga ekonomi masyarakat. Kerugian sama pernah dialami Riau saat banjir melanda 6 wilayah di Riau di November 2019 di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Rokan Hilir. Berangkat dari kerugian yang begitu besar sudah sepantasnya upaya meminimkan kerusakan lingkungan lebih diprioritaskan.
Upaya dan tindakan pencegahan bisa berbagai bentuk. Paling utama mengalokasikan anggaran tepat guna untuk mencegah kerusakan alam dan lingkungan. Ironisnya alokasi belanja aspek pencegahan di Pemda termasuk Pemprov Riau kalah dibanding alokasi tindakan ketika telah terjadi kerusakan (penanganan bencana). Menghitung biaya memperbaiki lingkungan kadung rusak tentu sangat tidak ekonomis. Bukankah pepatah berkata: lebih baik mencegah daripada mengobati. Mengobati penyakit bisa keluar banyak duit plus derita yang bikin frustasi. Lebih baik mencegah penyakit sedari awal melalui tindakan kesehatan lebih murah dan sederhana. Ketika sakit sudahlah biaya pengobatan membengkak plus kehilangan waktu produktif “cari duit”.
Komitmen
Pemprov Riau sebenarnya punya agenda bagus. Di APBD Riau 2020 Gubernur Riau Syamsuar telah menginisiasi program “Riau Hijau”. Sebagai respon atas persoalan lingkungan hidup terutama kerusakan hutan. Program serupa pernah ditempuh saudara Gubernur ketika menjadi Bupati Siak dengan menerbitkan Peraturan Bupati tentang Siak Kabupaten Hijau. Kebijakan “Riau Hijau” terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah dan visi dan misi Gubenur dan Wakil Gubernur Riau periode 2019-2024, sebagai implementasi janji Pilgubri 2018 lalu. Dengan misi “mewujudkan pembangunan infrastruktur daerah yang merata dan berwawasan lingkungan”. Kemudian dijabarkan ke dalam indikator pembangunan kinerja lingkungan hidup diantaranya melalui indeks kualitas lingkungan hidup dan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Reaksi Pemprov Riau pun cukup baik dengan membentuk tim terpadu penertiban penggunaan kawasan lahan secara illegal yang diketuai langsung saudara Wakil Gubenur. Namun setakad ini gebrakan tak banyak diketahui publik. Apa yang sudah dilakukan dan bagaimana progres serta apa faktor penghambat. Bukan saja masyarakat, bagi lembaga legislatif pun misteri. Mengingat kerusakan lingkungan di Riau di zona bahaya, bermain tataran ide saja tentu bukan momennya. Parameter program mesti disertai rencana aksi yang jelas. Supaya ada kepastian dan optimalisasi kinerja perangkat Pemprov. Apalagi dampak kerusakan lingkungan terus mengintai. Perlu konsolidasi dengan menggalang setiap unsur terutama masyarakat. Seperti ide Gubernur mengajak masyarakat cinta lingkungan dan memanfaatkan lahan gambut secara tepat guna meminimalisir Karhutla. Disamping revitalisasi secara bertahap kawasan hutan, pendekatan konsep pelestarian berbasis wanatani juga bisa membantu pemanfaatan lahan kritis dan lahan gambut dengan tanaman ramah lingkungan yang bernilai ekonomi. Sehingga sejalan dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Di lapangan bisa bersinergi dengan kegiatan semisal Kebun Bibit Desa (KBD) melalui pelibatan masyarakat. Dengan begitu menjawab kebutuhan masyarakat terhadap jenis tanaman kayu serbaguna untuk ditanam di lahan kritis, kosong, terlantar, atau lahan non produktif.
Disamping itu, penegakan hukum juga diperlukan agar bisa menjerat dan menghukum pelaku “dosa” seberat-beratnya. Karena tindakan mereka secara tidak langsung turut menyebabkan korban jiwa akibat bencana berikut kerugian ekonomi bagi negara. Provinsi Riau sudah cukup “asam garam” dalam hal ini. Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan yang pernah dibentuk DPRD Provinsi Riau tahun 2015 menemukan 1,8 juta hektar sawit illegal terbagi dalam 378 perusahaan. Selain merugikan Pemda dari segi pendapatan, aktivitas illegal tadi juga membuka peluang terjadinya perusakan terhadap lahan dan hutan termasuk Karhutla yang asapnya mengancam kesehatan dan menggangu aktivitas masyarakat serta terjadinya bencana lain seperti banjir.
Upaya di atas beberapa dari sekian banyak cara bisa ditempuh untuk mencegah kerusakan lingkungan. Tentu butuh pendekatan terintegrasi dan komitmen tinggi. Kepala daerah dalam konteks ini bertindak sebagai leader diharapkan dapat mengonsolidasikan potensi yang ada dari segenap stakeholder. Sekarang saatnya mengakselerasi langkah agar gerak cepat. Akumulasi kerusakan lingkungan sudah di depan mata. Menyalahkan alam sebagai penyebab bencana bukan ciri manusia beragama dan beradab. Jika ingin alam memberi manfaat, maka alam harus terlebih dahulu dirawat
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU