Pekanbaru – Kabar gembira menghampiri honorer seantero negeri. Di tengah kegalauan berjuang jadi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), Pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membuat alokasi anggaran khusus PPPK di tahun 2023. Sebagaimana diketahui, anggaran untuk gaji PPPK dari APBN disalurkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Cara tadi ditempuh dikarenakan mayoritas Pemerintah Daerah (Pemda) menunda penerimaan PPPK atas pertimbangan keterbatasan anggaran. Berhubung Pusat dan Pemda telah siapkan anggaran pengadaan ASN berstatus PPPK, untuk teknis pelaksanaan seperti formasi diserahkan kepada Pemda. Formasi diajukan ke Kementerian dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri), baru kemudian dana dialokasikan oleh Kementerian terkait. Mengenai besaran anggaran disesuaikan dengan jumlah PPPK yang akan diangkat. Namun di lapangan pelaksanaan banyak meleset dari harapan. Dalam acara Rembuk Nasional di Komplek Kemdikbudristek (15/12), PPPK guru mengeluhkan anggaran pengangkatan guru dari status honorer ke PPPK kerap tak sampai ke guru terkait.
Buruknya koordinasi penyaluran sampai menimbulkan perang statement antara pusat dan daerah. Selama ini Pusat ngotot bilang anggaran gaji PPPK tahun 2021 dan 2022 sudah diperhitungkan dan ditransfer ke daerah dalam bentuk alokasi DAU. Sebaliknya, Pemda mati-matian membantah ada anggarannya di DAU. Mengutip pernyataan Dirjen Kemenkeu, mengacu ke keputusan (S-98/PK/2021) bahwa anggaran sudah dialokasikan dan ditransfer sebagai bagian dari BAP di poin 4 PPPK. Di bagian lampiran aturan telah dijelaskan penggunaan anggaran secara terperinci dan spesifik. Jadi, tidak seperti sebelumnya yang gelodongan, gaji PPPK yang ditransfer ke daerah akan diberi flag khusus. Dengan begitu tidak dapat dipakai untuk belanja lain. jika Pemda tidak mengajukan formasi atau tidak mengangkat PPPK, maka anggaran wajib dikembalikan. Kemenkeu juga bilang Pemda tidak ada alasan lagi menunda atau menolak mengajukan formasi dengan alasan tak ada anggaran untuk gaji.
Pengangkatan honorer ke PPPK boleh dibilang jadi salah satu isu terbesar nasional. Di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah berjanji akan merekrut satu juta guru PPPK. Namun, hingga kini target tersebut belum tercapai. Menteri Nadiem Makarim berujar PPPK ditargetkan tuntas Maret atau April 2023. Tentu tidak hanya guru. Honorer berbagai sektor juga berada dalam masa-masa intens. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga bekerjasama dengan Kementerian/Lembaga lain untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dengan mengangkat honorer menjadi PPPK. Adapun persoalan guru honorer agak booming mungkin didasarkan atas urgensi antara ancaman kekurangan guru dan kebutuhan pemerataan. Solusi yang selalu digaungkan Mendikbudristek mendorong Pemda untuk membuka lowongan guru PPPK di tahun 2023 mendatang. Sehingga jumlah guru yang belum terakomodir dalam PPPK dapat teratasi. Kalau sampai tenggat Maret 2023 Pemda tak kunjung mengajukan formasi sesuai kebutuhan, maka Pemerintah akan melengkapi formasi tersebut. Perihal Riau, pendaftaran seleksi PPPK untuk formasi Jabatan Fungsional (JF) guru di lingkungan Pemprov Riau telah berakhir bulan lalu. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Riau mencatat, hingga hari akhir pendaftaran total ada 9.001 peserta. Sedangkan kuota disiapkan sebanyak 7.297 lowongan.
Dilema?
Boleh dibilang, perkara pengangkatan honorer tak sesederhana dilihat. Apalagi jelang tahun politik, situasi kian kompleks baik bagi Kepala Negara sampai Kepala Daerah. Teristimewa yang disebut terakhir, urusan tenaga honorer atau non ASN dan PKKK terbukti bikin kepala daerah kelimpungan. Mereka harus memutar otak guna mencari solusi penyelesaian tenaga honorer atau non ASN yang terancam dihapus paska terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 49/2018 tentang Manajemen PPPK. Kepala Daerah boleh dibilang pihak paling menanggung beban moral. Terlebih bagi dulu saat kampanye getol berjanji peduli tenaga honorer. Jadi kalau ditanya apakah hingga kini kepala daerah masih peduli? Jawaban pasti peduli. Tak mungkin rasanya mau ingkar begitu saja. Karena pertaruhannya besar. Bukan hanya dari perspektif politik, tapi Kepala Daerah bagaimanapun akan dituntut oleh masyarakatnya. Disamping itu, mereka juga tentu sadar problem daerah. Terutama menyoal guru dan tenaga kesehatan yang banyak belum terpenuhi di daerah terpencil. Belum lagi bicara tuntutan pemerataan.
Menyoal Pemerintah Pusat, stigma sejauh ini baik di pemberitaan media massa. Yakni garda terdepan membela kepentingan honorer. Tapi kalau didalami, dari sudut pandang daerah ada ketidakbijaksanaan. Memang Pusat telah mengalokasi anggaran PPPK dalam DAU. Namun kalau bicara sedikit kasar, cara sekarang dinilai agak “licik”. Pusat meminta daerah mengangkat tenaga honorer menjadi PKKK. Ini langkah bagus dan semua daerah pasti mendukung. Toh Pemda sudah lama memperjuangkan. Tetapi sayangnya daerah tidak diberikan tambahan DAU. Komisi X DPR RI menilai, diantaranya anggaran pengangkatan guru honorer menjadi PPPK guru saat ini masih kurang. Menurut perhitungan Komisi X, mengacu ke target pengangkatan satu juta guru honorer se-Indonesia, maka per 100.000 orang idealnya ada penambahan anggaran sekitar Rp. 7 triliun. Artinya, kalau tahun lalu jumlah yang dialokasikan Kemenkeu untuk mengangkat ratusan guru honorer Rp 19,6 triliun, tahun depan harusnya ditambah Rp 7 triliun. Sekarang kan tidak begitu. Komponen pengeluaran bertambah seiring penggajian PPPK diambil dari DAU. Sementara alokasi DAU tidak bertambah signifikan.
Belum lagi paska kebijakan baru Pemda tak lagi bisa bebas belanjakan DAU. Sebab ruang gerak daerah dibatasi Kemenkeu. Awalnya penggunaan DAU tak ditentukan. Artinya, Pemda bisa mengalokasikan untuk belanja sesuai prioritas daerah. Tetapi saat ini DAU dibatasi untuk lima kategori belanja dan Pemda wajib mengalokasikannya sesuai ketetapan dimaksud. Jika tak patuh akan disanksi penundaan hingga pemotongan penyaluran dana transfer ke daerah. Ketidakbijaksanaan DAU tentu berpengaruh terhadap aktivitas pembangunan daerah. Termasuk upaya penanggulangan kemiskinan. Jadi wajar Bupati Muhammad Adil menyuarakan tuntutan penambahan anggaran Transfer ke Daerah dan Desa (TKDD). Bagi Meranti dan beberapa kabupaten di Riau, DAU sangat berarti guna mengentaskan kemiskinan ekstrem yang mana merupakan instruksi Presiden untuk diselesaikan sebelum 2024. Ini tentu bukan sinyal bagus. Sudahlah pembagian DBH tidak adil dan transparan, sekarang DAU terkesan “diakali”. Padahal masih banyak daerah di Riau butuh DAU. Daerah harus berani bersuara. Bila peruntukan bertambah, alokasi DAU yang penggunaannya bersifat bebas juga disesuaikan. Pemda boleh dibilang dalam dilema berat. Baik itu honorer dan pembangunan daerah sama-sama urgen. Di sisi lain, Pemda juga tidak mau APBD defisit.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU