Hari Gizi Nasional (HGN) yang diperingati setiap tanggal 25 Januari momentum tepat menggalang kepedulian dan meningkatkan komitmen berbagai pihak. Supaya bersama-sama menaruh kepedulian pemenuhan gizi seimbang dan produksi pangan berkelanjutan. Seiring muncul kesadaran dan gerakan kolektif menjaga kesehatan, akan membentuk bangsa sehat berprestasi. Sekilas sejarah penetapan HGN bermula tahun 1950. Saat Menteri Kesehatan Dokter Leimena mengangkat Prof. Poorwo Soedarmo sebagai Kepala Lembaga Makanan Rakyat (LMR) atau Instituut Voor Volksvoeding (IVV). Lembaga barusan bagian dari institusi yang berperan sentral dalam penelitian kesehatan Indonesia yakni Lembaga Eijckman. Prof. Poorwo Soedarmo kelak digelari Bapak Gizi Indonesia. HGN juga ditandai mulainya pengkaderan tenaga gizi Indonesia lewat perdirian Sekolah Juru Penerang Makanan pada 25 Januari 1951. Semenjak itu, pendidikan tenaga gizi terus berkembang pesat di banyak perguruan tinggi nusantara.
Kini di tahun 2024, peringatan HGN genap berusia ke-64 tahun. Meski begitu pemenuhan gizi masih menjadi isu teratas problem kebangsaan. Dampak dan ancaman terpampang di hadapan. Paling menonjol meningkatnya kasus stunting dan obesitas. Perihal stunting masalah serius. Berdasarkan Survei Status Gizi Nasional (SSGI) terakhir, prevalensi stunting Indonesia di angka 21,6 persen. Kendati terus menurun, namun terpaut jauh dari target di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yakni 14 persen di tahun 2024. Angka 21,6 persen bermakna hampir seperlima anak Indonesia alami stunting. Riau juga tengah berjuang hadapi stunting. Sebagian kabupaten/kota ada yang membaik, adapula yang memprihatinkan. Stunting dan obesitas sekaligus menyiratkan ironi. Satu sisi kekurangan makanan dan gizi, sisi lain kelebihan berat badan akibat makan berlebihan. Sebelas dua belas, obesitas sama-sama meningkat. Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi balita obesitas mencapai 3,8 persen, sedangkan dewasa (usia 18 tahun ke atas) sebesar 21,8 persen. Baik stunting dan obesitas mengganggu produktivitas. Bak kata bijak latin, mensana in corpore sano. Dalam tubuh sehat terdapat jiwa yang kuat. Sebaliknya, generasi yang tumbuh dalam keadaan tak sehat akan terganggu perkembangan fisik dan kognitifnya.
Evaluasi
Disamping penguatan kesadaran, peringatan HGN kesempatan mengevaluasi pendekatan yang sudah dilakukan. Di tataran kebijakan, Pemerintah khususnya di Kemenkes, merumuskan arah kebijakan pembangunan Kesehatan yang menitikberatkan upaya preventif dan promotif. Diantaranya melalui program Indonesia Sehat yang berfokus pada 4 program prioritas yaitu: Menurunkan angka kematian ibu dan bayi; Perbaikan gizi khususnya stunting; Penurunan prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Adapun implementasinya menggunakan pendekatan keluarga dan Penerapan Program Indonesia Sehat sebagaimana diatur Instruksi Presiden (Inpres) 1/2017 tentang Gerakan Masyarakat untuk Hidup Sehat (Germas). Harapannya bisa merubah perilaku keluarga dan masyarakat khususnya pengenalan terhadap risiko penyakit. Berikut ditambah intervensi lain meliputi kegiatan promosi dan konseling menyusui, pemantauan pertumbuhan dan pengembangan, pemberian suplemen kepada ibu hamil dan remaja, penanganan masalah gizi dengan pemberian makanan tambahan serta tata laksana penanganan gizi buruk.
Akan tetapi situasi masih jauh dari ideal. Penyebabnya ditenggarai pendekatan yang ditempuh belum terintegrasi. Bicara realita di lapangan, tantangan pelaksanaan program perbaikan gizi masyarakat berkutat hambatan klasik berupa koordinasi, intervensi, konvergensi dan keberlanjutan program. Butuh komitmen Pemerintah mulai Pusat hingga Daerah (Pemda). Setakad ini sudah banyak program perbaikan gizi dicanangkan dan dilaksanakan. Meski begitu, berangkat dari gentingnya keadaan, tak cukup pendekatan kuratif dan program seremonial semata. Sosialisasi dan tindakan harus benar-benar masif. Jangan urusanCovid 19 saja anggaran fantastis digelontorkan, kampanye digencarkan dan semua sektor wajib menjalankan Protokol Kesehatan (Prokes) secara ketat. Sampai-sampai alokasi dana pendidikan kayak pembangunan gedung sekolah direalokasi atau direfocussing. Persoalan kekurangan gizi jauh lebih mengancam. Karena masa depan SDM bangsa.
Sekali lagi, pengentasan stunting dan persoalan gizi lainnya tak bisa sebatas program kerja. Apalagi spesifik di kementerian terkait saja seperti Kemenkes di pusat dan Dinas Kesehatan (Dinkes) di daerah. Sebab pemicunya demikian kompleks. Minimnya akses warga memperoleh pangan berkualitas, buruknya sanitasi, ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya dan pendapatan termasuk kontributor utama. Terlebih kondisi ekonomi sekarang. BBM terus naik, harga bahan pangan dan Sembako tak terkendali dan membumbung tinggi, PHK marak, lapangan kerja sulit dan seterusnya. Bahkan netizen berkelakar, saking susahnya cari pekerjaan, Presiden bela-belain carikan pekerjaan untuk anaknya. Belum lagi bayang-bayang akan dinaikkannya pajak kendaraan bermotor yang mana dipakai masyarakat ekonomi bawah mencari nafkah. Mirisnya isu kenaikan pajak tempat hiburan yang identik dengan kaum ekonomi mampu, justru dibatalkan Pemerintah gara-gara diprotes pihak yang mayoritas kalangan artis. Sungguh tak habis pikir. Aspirasi segelintir lebih didengar daripada rakyat kebanyakan. Ini bukan pertama kali. Subsidi dikurangi dan rakyat terus dipajaki. Sementara konglomerat pengemplang pajak justru diberi tax amnesty. Mensubsidi rakyat dianggap beban, tapi bangun Ibukota Negara malah jor-joran. Selama kebijakan dibuat tidak mensejahterakan, selama itu pula kekurangan gizi sulit dientaskan.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM
ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU