Pekanbaru – Keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari beberapa indikator. Paling sederhana pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Pertumbuhan ekonomi relevan dengan kenaikan pendapatan negara secara agregat ataupun peningkatan output dalam periode tertentu. Pertumbuhan bukan saja diketahui dari pertambahan produksi barang, berkembangnya infrastruktur, bertambahnya sektor jasa dan produksi barang modal. Di luar itu, kuantitas dan kualitas infrastruktur layanan mendasar antara lain sarana pendidikan dan kesehatan. Sebagaimana dituangkan Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya berjudul Muqadimah, pertumbuhan sebuah negara tergantung sebaik apa pelayanan publik, terutama mengarah ke penguatan Sumber Daya Manusia (SDM). Itulah kenapa negara maju selalu berupaya memberikan hal terbaik untuk membangun SDM. Sedangkan di negeri sendiri lebih fokus menggenjot investasi di bidang ekonomi, namun lalai melihat pentingnya investasi SDM. Anggaran negara digelontorkan besar-besaran untuk pembangunan infrastruktur demi investasi, sebut saja tol dan lain-lain. Aturan yang menghambat investasi dirombak total di tengah gelombang protes. Sampai-sampai aturan yang dibikin melanggar konstitusi.
Meski sudah habis-habisan, sayang hasil tak sesuai ekspektasi. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, Penanaman Modal Asing (PMA) tumbuh 43,3 persen secara tahunan dan berkontribusi 55,6 persen terhadap total realisasi investasi. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam suatu acara di akhir Januari 2023 berujar Indonesia salah satu negara pertumbuhan PMA-nya tertinggi. Kinerja realisasi investasi Riau juga tak kalah mentereng. Riau selalu melebihi target ditetapkan Pusat. Di triwulan III, Riau peringkat 3 nasional dan tertinggi di Sumatera. Meski demikian, melonjaknya nilai investasi asing tak dibarengi serapan tenaga kerja. Merujuk ke BKPM, serapan tenaga kerja dari PMA hanya sebanyak 134.952 orang atau 39,70 persen dari total serapan kerja investasi di kuartal IV-2022. Jumlah tadi turun 5,25 persen dari kuartal sebelumnya. Selama tiga bulan terakhir di tahun 2022, penyerapan tenaga kerja terbanyak justru berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yakni sekitar 204.927 orang atau berkontribusi 60,3 persen dari total serapan kerja investasi RI.
Ancaman Terselubung
Fenomena mengkhawatirkan lainnya yaitu angka pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun yakni 2,54 juta orang. Angka ini setara 30,12 persen dari total pengangguran nasional. Bahkan Organisasi Buruh Internasional (the International Labour Organization/ILO) dalam publikasinya menyampaikan TPT usia muda (usia 15-24 tahun) di Indonesia mencapai angka tertinggi yakni 19,9 persen dari jumlah penduduk. Lembaga CORE Indonesia menyebut TPT tersebut menempatkan tingkat pengangguran muda Indonesia tertinggi se Asia Tenggara. Negara lain Filipina, Thailand, Vietnam, Singapura dan Malaysia di bawah 15 persen. TPT cerminan kemampuan perekonomian menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja. Semakin tinggi nilainya, semakin banyak tenaga kerja yang tak termanfaatkan. Begitu sebaliknya. Provinsi Riau juga hadapi pengangguran usia muda. Apalagi di masa pandemi dan perlambatan ekonomi sekarang. Ini ancaman nyata yang terselubung. Di atas kertas (baca: statistik) sepintas semua tampak baik-baik saja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata TPT Indonesia turun dari 6,49 persen Agustus 2021 menjadi 5,86 persen Agustus 2022. Teruntuk Riau, sumber Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau diperoleh TPT Riau per Agustus 2022 4,37 persen. Turun 0,05 persen poin dibandingkan Agustus 2021. Meski begitu Kepala Dinas Disnakertrans Riau berkata bahwa TPT satu kabupaten dan kota di Riau tidak merata atau berbeda-beda. Artinya tiap kabupaten/kota lainnya punya problematika. Contoh Pekanbaru, tekanan persoalan sosial mengakibatkan pengangguran cukup tinggi. Intinya, masalah pengangguran usia muda membuat peluang emas bonus demografi sirna.
Selain ancaman kepentingan ekonomi, pengangguran usia muda musibah bersifat multidimensional. Oleh karena itu, Pemerintah khususnya Provinsi (Pemprov) Riau diminta lebih aware. Penyebab pengangguran memang beragam. Mulai lapangan pekerjaan minim dan lain lain. Disamping itu, aspek lain perlu digarisbawahi perihal daya saing. Kembali merujuk ke data TPT, persentase pengangguran muda didominasi pendidikan menengah ke atas. Ini bertolakbelakang dengan pandangan awam bahwa makin tinggi pendidikan lebih mudah cari pekerjaan. Tingginya pengangguran usia muda pertanda penciptaan tenaga kerja sarat masalah dan pembangunan manusia jauh dari optimal. Kendati janji cipta lapangan kerja Pemerintahan Jokowi disebut-sebut capai target di akhir 2018 dan tingkat pengangguran diklaim membaik, tapi berkurangnya pengangguran sebuah kewajaran bukan prestasi. Ukuran kinerja atau keberhasilan intervensi Pemerintah dinilai ketika tersedia pekerjaan layak. Adapun pekerjaan layak berbanding lurus kelayakan SDM. Disini titik tekannya. Bagi sebagian besar penduduk yang notabene ekonomi bawah, bekerja merupakan keharusan. Lihat fenomena belakangan, begitu banyak tragedi dunia tenaga kerja. Pekerja dibuat tak punya pilihan selain bertahan jalani profesi walau tempat bekerja tak tunaikan hak dasar. Seperti perusahaan nikel di Sulawesi Tengah yang abai keselamatan dan tak adil memperlakukan pekerja serta kasus lain. Kasus viral setelah diungkap sang pekerja. Pemerintah yang berperan sebagai pengawas terkesan bungkam agar “ekonomi tidak terganggu”.
Situasi ini jelas tak baik. ILO dalam laporannya di awal tahun 2023 memperingatkan bakal lebih banyak pekerja di negara pendapatan rendah dan menengah kayak Indonesia terpaksa menerima pekerjaan meski digaji rendah, jam kerja padat dan hak-haknya dilanggar. Diperparah gabungan pandemi, lonjakan harga kebutuhan pokok dan kemiskinan. Implikasinya, derajat kesejahteraan turun dan kesenjangan terus meningkat. Kalau begini malah berbahaya. Pemerintah pusat hingga daerah mesti fokus perkuat daya saing SDM dan membenahi urusan ketenagakerjaan. Bukan sebatas basa-basi di visi-misi. Harus berani investasi jor-joran ke sektor pembangunan manusia. Tanpa SDM berkualitas, investasi tak akan berbicara banyak. Investor asing tetap untung dan duitnya dibawa ke luar negeri; Sumber Daya Alam diperas dan menyisakan pekerja yang tak sejahtera. Jangan hanya merayu pemodal asing berinvestasi tapi Pemerintah sendiri malas investasi SDM. Alokasi pendidikan, kesehatan dan pembangunan manusia jangan dianggap beban APBN/APBD. Penguatan daya saing diharapkan berorientasi SDM mandiri dan terampil. Diawali pendidikan di bangku sekolah berikut balai-balai pelatihan. Mungkin ini momentum merespon perubahan tren investasi. Kala Industri manufaktur terutama padat karya alami penurunan sehingga investor mulai meninggalkannya. Padahal industri padat karya paling besar menyerap tenaga kerja. Investasi di Indonesia kini lebih banyak masuk ke sektor non-perdagangan dan sektor yang tak banyak menyerap tenaga kerja. Sudah saatnya menggalakkan industrialisasi berbasis kebutuhan penduduk besar seperti negara kita. Prospeknya jauh lebih berkelanjutan menciptakan lapangan kerja dan lebih mensejahterakan rakyat dibanding bergantung pasar ekspor. Banyaknya pekerja sektor formal yang beralih ke sektor informal menambah nilai plus. Mayoritas memilih usaha mandiri skala mikro dan memenuhi sektor yang secara jumlah tenaga kerja dominan, sebut saja sektor pertanian dan perkebunan.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU