KEBERPIHAKAN KUNCI KEBANGKITAN

Selain membuka cakrawala, konflik Rusia dan Ukraina mengandung pelajaran berharga bagi bangsa kita. Dunia disadarkan betapa bermuka dua pandangan Amerika Serikat dan sekutunya. Sampai-sampai muncul pandangan rasis kenapa Ukraina pantas dibela. Disamping membuka topeng kemanusiaan semu pihak barat, tanpa maksud mendukung, Rusia patut dicontoh. Tentunya bukan dalam hal perang, tapi bagaimana mereka memadukan anugerah Sumber Daya Alam (SDA) dimiliki dengan sikap berdaulat secara ekonomi. Terbukti meski dihujani sanksi, Rusia sanggup serang balik pemberi sanksi. Kabar teranyar Presiden Vladimir Putin umumkan Rusia hanya menerima pembayaran transaksi Migas dengan Rubel. Keputusan mengincar negara Eropa yang masuk daftar “tidak bersahabat” karena sanksi yang diberi atas invasi. Terang saja ketar-ketir negara Eropa yang butuh pasokan energi. Di sisi lain, Rusia menetapkan pembayaran fleksibel ke negara bersahabat. Seperti Turki dan China bisa menyesuaikan pembayaran dengan mata uang Rubel ataupun Yuan dan Lira. Bahkan negara sahabat bisa membayar dengan emas.

Lantas apa hubungannya dengan Indonesia? Walau di atas dan bawah bumi melimpah karunia Tuhan, jangan dulu bicara kedaulatan, rakyat saja tak bisa menikmati privilege. Kendati UUD 1945 sudah mengamanahkan kekayaan alam dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, fakta justru sebaliknya. Lihat saja minyak goreng dan BBM solar. Negara kebun sawit terluas dan penghasil CPO dunia tapi harga minyak goreng mahal. Pemerintah kepemimpinan Presiden Jokowi bahkan angkat tangan, mengaku tak sanggup perangi mafia. Itu baru perkara domestik. Lingkup makro dan global lebih miris lagi. Seperti diketahui, Indonesia produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006. Menyalip Malaysia yang bertahta selama bertahun-tahun. Orang terkaya Indonesia banyak berlatar pengusaha sawit. Meski unggul, Indonesia tak punya kuasa kendalikan naik turun harga komoditas sawit. Acuan malah ke negara jiran yaitu Bursa Malaysia Derivatives (BMD). BMD berpengaruh besar menetapkan harga sawit global mengingat Malaysia sebelumnya negara penghasil CPO terbesar dunia. Posisi BMD tak tergeser meski Indonesia belakangan penghasil CPO terbesar dunia. Selain berpatokan ke BMD, harga minyak sawit Indonesia juga mengacu ke bursa komoditas di Rotterdam Belanda. Tak cukup di situ, kepemilikan perkebunan sawit besar termasuk di Riau didominasi investor dan pemilik asal Singapura dan Malaysia. Memilukan memang. Kenyataan pahit mesti diterima.

SDA=Modal

Berangkat dari kondisi, tergambar terjal jalan menuju kedaulatan. Pemandangan menyesakkan menyasar hampir semua sektor termasuk paling inti soal pangan. Pandemi harusnya menyadarkan pemangku kebijakan betapa vital ketahanan pangan bagi kepentingan nasional. Perkara bukan sebatas urusan perut. Namun berpengaruh ke sektor lain. Disamping komoditi ekonomi, juga punya fungsi lain: sosial dan politik. Baik itu regional, nasional hingga global. Teruntuk negara, pangan bisa mengancam pertahanan dan keamanan. Terlebih ketika tak mampu mandiri pangan dan mengandalkan impor. Manakala pemenuhan kebutuhan lewat impor dalam jumlah besar, jangka waktu lama dan terus-menerus, timbul ketergantungan. Kondisi tersebut berbahaya saat ada masalah dengan negara pengekspor atau kasus lain kayak dialami Rusia yang beralasan invasi demi membela kedaulatan. Bedanya Rusia agaknya sudah prepare jauh sebelumnya. Lantas bagaimana kalau negara labil ketahanan pangan? Imbasnya krisis pangan. Ketika krisis, berefek ke seluruh aspek. Chaos tinggal tunggu waktu. Stabilitas nasional terganggu. Pangan terbatas juga membuat kualitas SDM dan produktivitas masyarakat menurun. Persoalan gizi, tumbuh kembang anak dan manusia rentan sakit. Kelihatan betapa luas dampak buruk akibat kelalaian mengelola SDA.

Indonesia harusnya bersyukur. Modal SDA melimpah bisa menghantarkan negeri ini ke level teratas. Selain memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan dan hal esensial lain secara mandiri, ketersediaan bahan baku modal sangat berharga untuk menggerakan ekonomi dalam negeri semisal industri berikut rentetan jaringan dan rantai usaha dan niaga. Sungguh peluang berdaulat secara ekonomi. Tapi ekspektasi tak sesuai realita. Kenyataannya pelaku usaha dalam negeri semakin tak berdaya. Khususnya kalangan UMKM. Saking prihatinnya keadaan, Presiden Jokowi baru-baru ini terang-terangan mengungkap kejengkelan di hadapan jajaran para menteri, Kepala Daerah, dan Dirut BUMN dalam acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Nusa Dua Bali, Jumat (25/3/2022). Sikap tadi lantaran belanja Pemerintah belum maksimal memakai produk dalam negeri. Presiden sampai dua kali menyebut kata bodoh saat menyinggung pengadaan barang dan jasa di pemerintahan banyak diisi produk impor.

“Bodoh sekali kita tidak melakukan ini. Malah beli barang-barang impor. Mau kita teruskan? enggak-enggak bisa. Kalau kita beli barang impor bayangkan bapak ibu kita beri pekerjaan ke negara lain duit kita capital outflow keluar pekerjaan ada di sana bukan di sini coba kita belokkan semua ke sini,” demikian pernyataan Presiden dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden. Padahal, kata Presiden, belanja pemerintah pusat Rp.526 triliun, Pemda Rp.535 triliun dan BUMN Rp.420 triliun. Kalau saja 40 persen dari total belanja konsisten diarahkan untuk membeli barang produksi pabrik dalam negeri dan UMKM, bakal men-trigger pertumbuhan ekonomi. Beliau juga membeberkan bahwa membeli produk dalam negeri bisa meningkatkan investasi dan berpeluang membuka 2 juta lapangan pekerjaan. Pernyataan Presiden tepat. Begitulah kondisi sebenarnya. Pernyataan sekaligus otokritik dan menampar muka Pemerintah sendiri atas ketidakcakapan mengelola keunggulan yang ada. Kegemaran impor mulai urusan pangan secara jor-joran dan impor keperluan lain akhirnya menuai konsekuensi. Sekarang baru menyesal.

Komitmen

Pemerintah harusnya lebih serius memikirkan berbagai strategi memperkuat kedaulatan SDA dan ekonomi. Mulai level nasional hingga penguatan daerah sebagai ujung tombak. Menimbang kompleksnya permasalahan, penanganan tak bisa dilakukan satu sektor tapi ditempuh secara terpadu dan terintegrasi. Menyoal SDA misalnya, urusan pangan dan kebutuhan mendasar bukan hanya soal produksi dan ketersediaan. Tapi Pemerintah harus menaruh perhatian ke tata kelola distribusi, pengolahan, keanekaragaman, hingga keamanan pangan didistribusi ke masyarakat. Begitujuga pola penanganan SDA lainnya. Teruntuk daerah, Pemda jangan bangga dulu ketika capaian ekspor tinggi namun yang diekspor justru CPO dan bahan baku. Pandangan harusnya lebih progresif, menguasai proses dari hulu hingga hilir. Kita punya bahan baku sebagai sumber produksi. Jika bisa diwujudkan, ditambah Pemerintah berani protektif dan support produksi dalam negeri, niscaya Indonesia mencapai kemajuan luar biasa.

Terakhir, kembali menyoal pidato Presiden, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar sudah merespon pidato Presiden dan menyatakan siap mengawal kebijakan di daerah dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Gubernur ke instansi pemerintah dan swasta. SE mendorong masyarakat Riau lebih mencintai produk nasional dengan membeli dan menggunakan produk dalam negeri. Namun tekad jangan cuma di atas kertas. Langkah sederhana bisa dimulai dari pengadaan barang/jasa Pemda. Di sini bisa dilihat komitmen sesungguhnya. Pemprov Riau bisa belajar ke provinsi lain. Pemda DKI Jakarta misalnya sudah membentuk Tim Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan menyediakan kanal khusus bagi UMKM daerah serta mengakomodir mereka di platform E-Order. Upaya pun bukan sekedar gimmick, tapi disertai target. Tahun 2022 Pemda DKI akan merealisasikan Rp.11,3 T untuk belanja produk dalam negeri dan UMKM atau setidaknya 30 persen dari total belanja barang dan jasa selain tanah. Target tadi melebihi yang ditetapkan Pusat. Upaya memancing kompetisi memakai produk dalam negeri harus terus digalakkan. Dengan begitu produktivitas dalam negeri makin bergairah dan memacu ekonomi bangkit. Cinta bangsa harus dibarengi pembuktian dan keberpihakan kebijakan, bukan modal pidato dan slogan.

By. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Anggota DPRD Riau Abdul Kasim Minta Perbaikan Jalan Tuntas Sebelum Arus Mudik 

Dumai – Anggota DPRD Provinsi Riau dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, H Abdul Kasim SH, …