Provinsi Riau mendapat kehormatan dengan terpilih sebagai tuan rumah Hari Anti Korupsi se-Dunia (Hakordia) yang diperingati pada 9 Desember 2021. Menjelang hari H, beberapa agenda penting telah diberlangsungkan. Paling mengemuka penandatanganan perjanjian kerjasama tentang Penanganan Pengaduan Tindak Pidana Korupsi melalui Whistleblowing System (WBS) antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau secara langsung oleh Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar di Gedung Daerah Balai Pauh Janggi. Dalam kesempatan tersebut juga dilakukan Rapat Koordinasi (Rakor) pencegahan korupsi terintegrasi Tahun 2021. Selain penandatanganan perjanjian kerjasama, Rakor juga digelar bersama aparat penegak hukum (APH) di gedung Mapolda Riau yang dihadiri KPK RI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Asa dibalik penunjukkan Riau sebagai tuan rumah bersempena peringatan Hakordia ada narasi besar dan perubahan ke depan. Terpilihnya Riau bukan tanpa sebab. Boleh jadi berkaca ke sejumlah kasus hukum yang melibatkan pejabat di posisi strategis. Namun tulisan ini tak mengungkit soal itu. Ekspektasi kita pada peringatan hari korupsi tak sekedar seremonial yang ditutup pidato mengutuk perbuatan korupsi. Paling penting ditagih adalah langkah progresif dan konsisten membenahi kekurangan. Sehingga harapannya dapat menutup terulangnya tindak yang sama. Disamping hukuman setimpal, aksi preventif paling urgen ditempuh. Sebab bicara korupsi tak akan pernah selesai, pasti selalu ada. Salah satu ikhtiar pencegahan seperti Monitoring Centre for Prevention (MCP). MCP sistem dikembangkan KPK untuk memudahkan monitoring upaya koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi yang dioperasikan salah satunya oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Melalui sistem tersebut, KPK secara regular terus memantau, membuat proyeksi dan evaluasi terhadap capaian Pemerintah Daerah (Pemda). Sekedar info, evaluasi capaian MCP tahun 2021 baru saja berlangsung beberapa waktu lalu di Ruang Rapat Melati Kantor Gubernur (2/12/2021).
Pertanahan
Terkait Riau, upaya pencegahan perlu menyasar sektor paling banyak menyumbang permasalahan hukum yakni seputar pertanahan. Sudah banyak kasus perizinan tanah di Riau menyeret kepala daerah dan pejabat daerah ke ranah hukum. Disamping itu, problematika dunia pertahanan juga menyeret Riau ke dalam pusaran konflik lahan yang tak berkesudahan, dengan melibatkan berbagai pihak secara vertikal dan horizontal. Jika dibiarkan terus terjadi bisa bereskalasi yang ujungnya menimbulkan kerugian sosial dan aspek lainnya, mengganggu jalannya pembangunan dan pertumbuhan perekonomian daerah. Terlebih Riau menyandang status sebagai sentra kelapa sawit, membuat banyak pihak menggantungkan kehidupan dari sektor tersebut. Namun, mengacu ke kajian KPK, bahwa sektor perkebunan punya banyak kelemahan tata kelola sehingga membuat sektor tersebut paling rawan praktek tindak pidana korupsi. Mulai perizinan, pengawasan, dan pengendalian. Semua berkait kelindan dengan urusan pertanahan.
Gubri mengakui problematika di atas dan meminta dukungan semua pihak terkait. Karena untuk mengatasi akar masalah tak cukup andalkan Pemda. Ada peran strategis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Oleh karena itu, sikap Gubri mendesak pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) terutama percepatan pengukuhan kawasan hutan dan redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) patut didukung. Permintaan tadi disampaikan dalam rapat percepatan pelaksanaan Stranas PK secara virtual bersama tim KPK bulan November lalu. Sejumlah permasalahan pertanahan di Riau menunggu solusi, pendekatan terpadu dan kolektif. Diantaranya sepperti perubahan fungsi tata ruang dari non kawasan hutan (Areal Penggunaan Lain) menjadi kawasan hutan berdasarkan RTRW tahun 1994-2009, SK MENLHK tanggal 7 Desember 2016 tentang kawasan hutan Provinsi Riau dan RTRW Provinsi Riau tahun 2018-203. Berikut juga persoalan bidang-bidang dalam areal gambut yang berangkat dari Inpres 5/2019 tentang penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut serta konsekuensi dari peraturan lainnya terkait pemanfaatan lahan. Akibat hal-hal tadi, banyak kegiatan penting semisal pelayanan pemeliharaan data pertanahan seperti hak tanggungan, balik nama atau peralihan hak, pemisahan dan perbuatan hukum lainnya belum dapat dilakukan.
Kolaborasi
Percepatan pelaksanaan Stranas PK berpengaruh signifikan dalam upaya penyelesaian pertanahan. Termasuk penataan kawasan hutan sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi Riau sekaligus pemicu kasus konflik paling banyak di Riau. Itulah kenapa Riau menjadi daerah pilot project percepatan Stranas PK selain Kalimantan Tengah (Kalteng). Melalui kerjasama dan koordinasi erat dan terpadu antar lembaga, diharapkan dapat menghasilkan progres cepat dan nyata. Upaya-upaya seperti percepatan pengukuhan kawasan hutan dan penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan di Provinsi Riau juga akan membantu dalam optimalisasi pajak perkebunan sawit. Adapun dalam upaya memberantas mafia tanah, yang menurut kajian bersama KPK dengan Kementerian ATR/BPN aktor utama dari banyaknya kasus pertanahan, pencegahan berupa kajian terhadap sistem pengelolaan administrasi penerbitan sertifikat tanah dan kajian pelayanan publik terkait pengukuran tanah untuk kepastian hukum. Pendekatan kolaboratif dan terintegrasi inilah dikehendaki dan diyakini dapat membantu mempercepat pelaksanaan Stranas PK. Efeknya sangat berarti bagi Riau.
Riau dalam posisinya sebagai tuan rumah diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan semaksimal mungkin. Status tuan rumah Hakordia momentum berharga bagi Pemda Riau untuk bersuara dan menuntut aksi konkrit guna mengatasi permasalahan pertanahan sebagai bagian dari upaya mempersempit celah terjadinya pelanggaran hukum dan korupsi, khususnya di Riau. Mengingat KPK sudah menginisiasi koordinasi lintas lembaga/kementerian, tentu harus ada target dan progres riil. Urgensi mengatasi persoalan seputar pertanahan bukan saja berkaitan dengan perkebunan. Akan tetapi juga terkait upaya penyelamatan aset milik daerah semisal tanah yang banyak dalam kondisi tak jelas, tanpa sertifikat, dicaplok pihak lain dan seterusnya. Untuk lingkup Pemprov Riau, pernah terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Riau bahwa cukup banyak aset tanah milik Pemprov Riau belum bersertifikat. Terakhir, melalui itikad dan kesungguhan mengatasi permasalahan pertanahan di Riau diharapkan membawa kebaikan ke depan dan meminimalisir kemungkinan terjadinya kasus serupa di Riau di masa mendatang. Seiring semakin minim ruang pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan, maka kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah menjadi sebuah keniscayaan untuk dicapai.
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI III DPRD PROVINSI RIAU