Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Pancasila. Memang ada perdebatan seputar penetapan tanggal mengingat versi lain sejarah menuturkan bahwa lahirnya Pancasila sebagai dasar negara tanggal 18 Agustus 1945, tepat ketika PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengesahkan konstitusi negara yakni UUD 1945 yang dalam Pembukaan tercantum Pancasila. Masing-masing punya hujjah dan narasi menarik. Kalau mengacu ke peristiwa 1 Juni 1945 dasarnya pertama kali ide dasar Negara dilontarkan Presiden Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 18 Agustus 1945 lebih menonjolkan esensi lahirnya Pancasila melalui berbagai dinamika dan hasil pemikiran tokoh-tokoh bangsa, jadi proses yang ditonjolkan. Meski begitu tak ada ruginya memanfaatkan momentum guna menggali sejarah dan esensi nilai Pancasila serta bagaimana penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai filosofi berbangsa dan bernegara memang selalu jadi topik kontemporer. Setiap diskusi, silang pendapat dan argumentasi yang muncul baik itu kala Hari Pancasila dan di luar hari itu merupakan hal positif untuk membangun kesadaran dan memperkaya khazanah. Harapannya hadir upaya untuk merevitalisasi pancasila sebagai dasar negara berikut rujukan serta inspirasi untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan bangsa.
Sayangnya beberapa tahun belakangan muncul fenomena yang mengundang kekhawatiran. Berbeda dengan kisah bapak bangsa terdahulu merumuskan dan mendiskusikan masalah penetapan dasar lima pilar dasar berdirinya NKRI secara negarawan, cerdas, intelek dan lepas dari kesan emosi serta memaksakan kehendak, dewasa ini diskusi tentang Pancasila seolah sesuatu yang terkesan berbahaya, disikapi emosional, berhati-hati dan senantiasa diarahkan ke satu kesimpulan yang tak boleh dibantah. Jika dulu para bapak bangsa memformulasikan Pancasila sebagai alat menyatukan Indonesia, sekarang muncul kubu menjadikan Pancasila sebagai alat afirmasi politik, tameng pelindung kepentingan atau demi mengamankan kekuasaan. Paling fatal Pancasila dipakai untuk memecah belah bangsa. Istilah seperti “anti Pancasila” begitu mudah dilontarkan untuk menyerang pihak lain berbeda pendapat. Cara-cara barusan bukannya memperkuat, sebaliknya justru memperlemah Pancasila itu sendiri. Padahal sejarah menuturkan betapa Pancasila lahir dari tolerasi tingkat tinggi. Kita ketahui bersama walau dalam sidang BPUPKI kubu Islam unggul dan terbesar dengan 35 orang anggota, namun ketika terjadi perdebatan dan perbedaan tajam dengan kubu sekuler dan selain Islam soal dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, kubu Islam rela berkorban dan berkompromi untuk membangun cita-cita negara Indonesia yang hendak dicapai bersama.
Merujuk ke aspek historis, mengeksploitasi Pancasila sebagai alat kepentingan kelompok dan memicu kebencian jelas merupakan bentuk pengulangan kegagalan pemikiran dan tindakan. Sejarah terus berulang dimana Pancasila sekedar tameng. Sebut saja DN Aidit, seorang pentolan PKI yang mengarang buku berjudul Aidit Membela Pantja Sila. Mengutip dokumen di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dalam wawancara yang dimuat oleh sebuah media kala itu yakni Majalah Pembina, Aidit pernah berkata bahwa PKI menerima Pancasila sebagai dasar NKRI dan menentang pemretelan sila-silanya terutama terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun seiring berjalannya waktu, ide tadi ternyata hanya selubung dan kedok semata. Kala itu di kesempatan lain terkuak pidato Aidit menyatakan bahwa bila sosialisme Indonesia tercapai, Pancasila tidak dibutuhkan lagi. Titik kulminasinya adalah peristiwa pemberontakan disertai berbagai pembunuhan oleh PKI untuk memuluskan agendanya. Begitujuga di era Orde Baru, Pancasila juga dipakai untuk melindungi kepentingan penguasa.
Revitalisasi
Peristiwa sejarah akan kembali berulang apabila Pancasila hanya dianggap pajangan dan slogan. Padahal Pancasila sejatinya produk hasil penelaahan watak dan jiwa Indonesia serta inti budaya Indonesia. Dulu bapak bangsa melahirkan Pancasila sebagai bentuk upaya untuk membebaskan manusia Indonesia dari dua penyakit bangsa kala itu, yakni pertama peniru cara berpikir dan gaya hidup bangsa luar. Kedua, kecenderungan terbelenggu kepada sesuatu yang konvensional dan tak berani progresif. Melalui Pancasila, para pemimpin bangsa menemukan kekuatan kepribadian dan karakter NKRI yang orisinil. Kearifan macam inilah yang sekarang mati suri. Itulah kenapa kini seolah Pancasila bukan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah lebih baik, malah dibuat polemik atau bak properti yang punya hak milik. Pancasila bukan label yang seenaknya disematkan. Penentu seseorang berjiwa Pancasila adalah individu yang dapat menerapkan dalam kehidupan tanpa pandang status sosial, ekonomi dan profesi. Oleh karenanya, setiap kekisruhan, eksploitasi dan klaim paling pancasilais harus dihentikan. Sebab hanya akan menghantarkan bangsa ke perpecahan. Alih-alih merasa pancasilais, menklaim sepihak dan menyudutkan pihak lain sudah jelas sebuah pengkhianatan terhadap nilai Pancasila.
Menyoal praktik, paling urgen melihat bagaimana penerapan di tataran kebijakan. Percuma pidato panjang lebar setiap 1 Juni jika kenyataan berkata lain. Tataran implementasi, ranah regulasi dan kebijakan Pancasila belum utuh dipakai sebagai referensi. Tak sedikit peraturan perundang-undangan dibuat justru berujung gugatan karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan dianggap condong ke oligarki. Paling heboh UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Lepas itu, baru-baru ini revisi UU 12 tahun 2011 resmi disahkan melalui rapat paripurna DPR-RI. Revisi UU dimaksud lagi-lagi menuai tanggapan negatif sebab tujuannya agar pembentukan UU menggunakan metode Omnibus Law punya landasan hukum dan pedoman. Sekaligus untuk “menyelamatkan” UU Cipta Kerja paska putusan MK. Pertanyaan wajar berdatangan, kok bisa pihak penyelenggara pemerintahan mengusulkan dan menetapkan sebuah UU tanpa ada pedoman terlebih dahulu? Sementara kami selaku anggota Bapemperda di DPRD Riau menganggap peristiwa tersebut bentuk kegagalan pusat memberi teladan ke daerah. Mustahil sebuah UU mewakili nilai Pancasila ketika proses pembentukan tak sejalan dengan konstitusi. Di tataran kebijakan juga sama. Contoh kebijakan ekonomi diantaranya tax amnesty cenderung memfasilitasi kalangan tertentu. Mengundang kecemburuan dan dianggap tidak adil bagi warga yang sudah taat pajak. Lebih menyakitkan bagi kalangan masyarakat yang menanggung beban makin berat seiring kenaikan PPN. Begitujuga dalam pembangunan, tak sedikit proyek pemerintah diprotes warga tempatan yang merasa kegiatan merugikan akibat potensi kerusakan lingkungan dan lain-lain.
SDM
Pendekatan signifikan lainnya dalam hal merevitalisasi Pancasila adalah melalui pembangunan SDM. Selama ini paradigma pembangunan dinilai belum komprehensif. Lebih memandang fisik dan konstruksi. Meski urgen, pembangunan manusia semestinya sama-sama prioritas. Sehebat apapun fisik dibangun jika tak disertai pembangunan manusia ujungnya sia-sia. Pembangunan manusia memunculkan kesadaran dan rasa memiliki. Dengan begitu pemanfaatan infrastruktur akan optimal. Beranjak ke skala lokal, sudah tepat misi pasangan Kepala Daerah sebagaimana tertuang dalam RPJMD Provinsi Riau yakni: mewujudkan sumber daya manusia yang beriman, berkualitas dan berdaya saing global melalui pembangunan manusia seutuhnya. Sekarang tinggal realisasi. Kita menghendaki pembangunan terkonsentrasi pada rakyat, dengan memandang mereka sebagai subjek pembangunan serta berorientasi pemberdayaan bukan objek kegiatan. Selain penguatan sektor pendidikan, kesehatan terdapat sektor lain dalam pemenuhan pembangunan manusia seutuhnya.
Berangkat dari misi, fasilitasi dan penguatan nilai Pancasila terhadap modal sosial juga perlu diprioritaskan. Terutama unsur agama sebagai pondasi Pancasila. Kendati demikian kami di DPRD Riau selalu menerima keluhan masyarakat perihal sulitnya mengajukan program-program berorientasi sosial dan keagamaan, paling simpel berupa usulan pembangunan atau perbaikan rumah ibadah. Disamping memfasilitasi umat agama beribadah, pembangunan manusia juga dapat ditempuh melalui penguatan Ormas dan perkumpulan. Mengingat mereka elemen penting dan aktor utama dalam sejarah perjuangan kemerdekaan termasuk menginisiasi lahirnya Pancasila. Pendekatan terhadap Ormas harus diubah, membina bukan menganggapnya sebagai beban. Pendekatan terhadap mereka juga tak melulu soal anggaran. Banyak cara yang bisa ditempuh. Ironisnya, di saat banyak masyarakat butuh rumah ibadah yang layak dan perhatian terhadap modal sosial lain masih minim, anggaran besar kerap dialokasi untuk mempercantik perkantoran atau membangun gedung instansi yang sama sekali di luar kewenangan daerah bahkan sempat mendapat kritikan elemen masyarakat mengingat menambah beban APBD. Masyarakat bisa saja memandang ini tidak adil.
Terakhir, pemaparan di atas sedikit dari sekian banyak hal dirasa perlu diberi perhatian dalam rangka menjaga nilai-nilai Pancasila. Intisarinya, Pancasila bukan sekedar falsafah kehidupan. Tapi akumulasi dari ajaran agama dan norma serta kearifan. Inilah modal sesungguhnya yang bisa menghantarkan bangsa ini menuju capaian terbaiknya. Masing-masing kita berkewajiban menerapkan melalui aksi konkrit melestarikan nilai-nilainya dalam kehidupan dan menjaganya dari pihak yang nyata-nyata merongrong eksistensinya.
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau