Wacana kontroversi penundaan Pemilu tahun 2024 disertai perpanjangan masa jabatan Presiden menggema hingga ke Riau. Terbukti di sejumlah titik di Kota Pekanbaru, pihak-pihak tanpa rasa segan memajang spanduk dan baliho dukungan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tambah periode jabatan. Dikutip dari CAKAPLAH.com, setidaknya ada dua jenis spanduk dan baliho yang berisi pernyataan dukung Jokowi kembali menjabat. Satu panduk dipasang di depan gerbang stadion utama Riau memajang wajah Presiden Jokowi bertuliskan #2024setiabersamaJokowi. Dalam spanduk tersebut tertulis Koalisi Bersama Rakyat (Kobar) dan Relawan Indonesia Sumatra untuk Jokowi (RIsatu). Selanjutnya, ada juga baliho berukuran besar terpasang tepat di depan Taman Makam Pahlawan di Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru berisi tulisan bernada hampir sama. Meski isi baliho tanpa ada ajakan mendukung Jokowi tiga periode, namun secara tersirat semua sudah jelas kemana arah dikehendaki.
Ide perpanjangan masa jabatan apalagi penambahan periode jabatan tentu sangat disesalkan. Karena aksi tersebut bukan lagi bentuk kebebasan berpendapat malah penentangan terhadap konstitusi yakni UUD 1945 yang telah mengatur pembatasan kekuasaan. Presiden Jokowi pun telah beberapa kali menyatakan sikap tegas menolak perpanjangan masa jabatan, sehubungan beliau dipilih dari UUD 1945 pasca-reformasi. Bahkan Presiden menyebut pihak mewacanakan justru ingin menjerumuskannya. “Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan,” kata Jokowi di Istana Merdeka (2/12/2019). Apalagi spanduk dan baliho di Pekanbaru mencomot wajah Presiden lalu disandingkan tulisan dan tagar mengarah ke ide perpanjangan masa jabatan/penambahan periode. Mestinya pihak berwenang dalam hal ini Kepolisian RI di daerah bisa saja memburu dan mengungkap siapa pelaku dan aktor dibalik pemasangan spanduk dan baliho.
Penghinaan
Disuarakannya ide inkonstitusional tersebut ke bumi Melayu Riau pantas bikin geram. Terkesan di bumi lancang kuning dianggap terbuka bicara ide anti konstitusi. Pihak dibalik baliho dan spanduk tak paham nilai Melayu dan sejarah Riau. Secara nilai kemelayuan, hidup tempat hukum dijalankan; tempat adat ditegakkan; tempat syarak didirikan. Sementara hukum tempat undang diundangkan; tempat memberi kata putus. Jadi, kalau konsitusi berkata A lakukan A. Bukan coba direkayasa demi hasrat berkuasa. Tunjuk ajar juga memuat pelajaran bahwa pemimpin berkata lidahnya masin; Bercakap pintanya Kabul; Melenggang tangannya berisi; Menyuruh sekali pergi; Menghimbau sekali datang; Melarang sekali sudah. Dalam konteks ini Presiden sudah nyatakan wacana perpanjangan masa jabatan dan isu 3 periode upaya penjerumusan atas dirinya. Kemudian Jokowi pernah mendapat gelar adat Datuk Seri Amanah Negara. Mengacu ke gelar, menentang amanat reformasi dan konstitusi jelas bukan perbuatan amanah. Amanah bagi seorang pemimpin adalah ketika dapat menuntaskan dan mewujudkan kepercayaan diberi rakyat sesuai masa jabatan seperti dinyatakan saat sumpah pelantikan.
Oleh karena itu, gagasan memperpanjang/menambah periodisasi kekuasaan semestinya tidak disuarakan di Riau. Selain tak sejalan nilai dan sejarah Riau, paling fatal patut diduga ada maksud lain. Misal mengadudomba atau memicu konflik antar masyarakat atau Negara dan rakyat. Sebab penolakan bukan saja dari Presiden tapi masyarakat. Ini terwakili dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI). Secara keseluruhan 70,7 persen publik yang disurvei menolak perpanjangan masa jabatan presiden apapun alasannya. Di kalangan yang tahu isu, penolakan terhadap wacana jauh lebih tinggi lagi yaitu 74 persen. Sementara kalangan tidak mengetahui isu secara detail, penolakan sedikit lebih rendah tapi tetap mayoritas yakni 67,5 persen. Kesimpulan dari survei LSI: Pertama, isu perpanjangan masa jabatan presiden ditolak oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Kedua, seiring isu disebarkan maka semakin diketahui publik maka tingkat penolakan dan penentangannya cenderung semakin tinggi. Sebagai informasi survei LSI dilakukan periode 25 Februari-1 Maret 2022 dengan 1.197 responden tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk Riau, memiliki tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.
Pengalaman Pahit
Di sisi lain, ide nafsu berkuasa bisa mengikis kepercayaan dan dukungan masyarakat ke Negara. Di tengah banyak problem salah urus hajat publik bikin beban hidup masyarakat makin berat, malah sibuk munculkan ide menentang konstitusi demi tahta. Di masa-masa krusial sekarang penyelenggara Negara butuh konsentrasi penuh. Jangan sampai kerja Pemerintah diganggu oleh isu tidak produktif. Berangkat dari paradigma barusan, dalam rangka menjaga kondusifitas, sudah barang tentu butuh kehadiran institusi keamanan. Kepolisian RI khususnya hingga ke daerah punya peran penting dan vital supaya pemerintah dapat menjalankan peran dan fungsi secara maksimal. Mengacu ke UU 2/2002, Kepolisian RI punya tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat menegakkan hukum. Teruntuk bagi pihak yang mencoba merusak hubungan dan kepercayaan masyarakat ke Negara, sudah semestinya dianggap sebagai ancaman yang harus ditertibkan.
Termasuk penertiban berbagai media seperti baliho dan spanduk di atas. Jangan hanya mural dan baliho suara kritikan rakyat ke Negara saja yang diurus bahkan pembuatnya sampai diburu. Pihak menentang konstitusi lebih penting ditindak. Sebab ini bukan perkara remeh. Mengingat Indonesia Negara hukum, jika setiap ide dan kehendak terus dibiarkan mengalir dan dipaksa dibahas walau jelas-jelas melanggar konstitusi dan aturan hukum, bisa berakibat terjadi chaos atau kekacauan. Ke depan jangan salahkan kalau muncul pihak lain menempuh cara serupa untuk memperjuangkan ide lebih gila dan radikal. Ini juga demi menjaga harga diri presiden selaku pemimpin Negara. Sejarah Orde Baru membuktikan, usulan perpanjangan masa jabatan presiden ujungnya justru mendorong ke jurang kehinaan. Sebelum reformasi, Presiden Soeharto sudah memberi isyarat dirinya ingin berhenti. Tapi orang sekitarnya terus meyakinkan seolah rakyat masih ingin beliau berkuasa. Ending-nya? Soeharto kembali lanjut berkuasa tapi tak lama dijatuhkan. Hal sama bukan tak mungkin bakal terulang.
Terakhir namun paling utama menilik sudut pandang sejarah Riau. Penyalahgunaan kekuasaan dan abuse of power tanpa rasa segan melanggar konstitusi jadi kenangan dan pengalaman pahit. Riau sangat “puas” hidup tersentralisasi. Ditekan otoritarianisme mulai Orde Lama hingga Orde Baru. Riau termasuk daerah paling keras menentang praktik dimaksud. Tersebut beberapa peristiwa luar biasa. Paling sensasional 2 September 1985. Kala itu tokoh Riau melakukan perlawanan dengan mengabaikan calon gubernur pilihan rezim Soeharto dan mengusung putra daerah. Aksi bikin Pusat meradang. Lalu ada juga peristiwa “Petisi 50”. Berawal dari digelarnya Rapat Pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Gedung Balai Dang Merdu (kini kantor Bank Riau Kepri) dihadiri langsung Presiden Soeharto, kemudian memicu munculnya Surat Keprihatinan ditandatangani 50 tokoh nasional dan kemerdekaan berasal dari kalangan sipil maupun militer. Gedung Balai Dang Merdu saksi bisu keinginan rezim Orba mengobrak-abrik konstitusi demi melanggengkan kekuasaan. Tak lama muncul gelombang perlawanan elemen bangsa atas tirani. Catatan kelam tak boleh terulang. Memperpanjang masa jabatan/menambah periode berkuasa selangkah menuju penyalahgunaan kekuasaan. Apapun alasannya, Riau menolak praktek ala Orba.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. TOKOH MASYARAKAT DAN ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU