Tameng Itu Bernama Pancasila

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Setiap tanggal 1 Juni kita memperingati hari lahir Pancasila. Kendati penetapan 1 Juni sejak awal disertai pro dan kontra, mengingat ada versi sejarah menuturkan bahwa kelahiran Pancasila sebagai dasar negara mestinya 18 Agustus 1945 saat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengesahkan UUD 1945 yang di Pembukaan tercantum Pancasila, namun tak ada ruginya memanfaatkan momen 1 Juni untuk menggali esensinya. Selain itu, Pancasila juga bak cermin untuk berkaca. Sehingga dapat mengevaluasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks kekinian. Boleh dibilang gagasan Pancasila filosofi berbangsa dan bernegara selalu menjadi topik kontemporer. Setiap diskusi, argumentasi dan silang pendapat yang muncul di hari peringatan dan diluar itu merupakan aktivitas positif dalam rangka membangun kesadaran dan memperkaya khazanah. Harapannya, hadir usaha merevitalisasi Pancasila dan menjadikannya rujukan serta inspirasi menjawab tantangan kehidupan. Bicara revitalisasi, bukan ditengok seberapa besar dan banyak simbol burung garuda dan sila-silanya dipajang di gedung dan perkantoran. Revitalisasi bila nilai-nilainya dapat diterapkan dan diejawantahkan ke ranah realita.

Berangkat dari sejarah, Pancasila tameng kokoh yang melindungi bangsa kita dari berbagai gempuran dan serangan degradasi moral; Membuka topeng para pengkhianat negara; Dan di saat sama menampakkan siapa yang ikhlas dan tulus bela kepentingan bangsa. Diantaranya tersaji dalam peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu sejumlah tokoh anti komunis difitnah dan dituduh pembangkang negara. Sementara PKI mempropagandakan dirinya pelindung Pancasila. Bahkan seorang pentolan PKI bernama DN Aidit sampai bikin buku berjudul “Membela Pantjasila”. Mengutip dokumen Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dalam wawancara dengan Majalah Pembina, Aidit pernah berkata bahwa PKI menerima Pancasila sebagai dasar negara dan menentang segala upaya pemretelan sila-silanya terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Seiring berjalan waktu terungkap semua hanyalah kedok. Di kesempatan lain terkuak pidato Aidit berkata bahwa apabila sosialisme Indonesia tercapai maka Pancasila tak dibutuhkan lagi. Puncaknya pemberontakan dan pembunuhan oleh PKI untuk memuluskan agendanya.

Sejarah Berulang?

Pola serupa bisa saja terulang. Terlebih melihat kondisi beberapa tahun belakangan. Muncul fenomena dimana Pancasila lagi-lagi dijadikan tameng. Penyampaian di lisan demi kepentingan bangsa, tetapi nyatanya diselewengkan demi membela kepentingan kelompok dan kekuasaan. Jika dulu bapak pendiri bangsa kita memformulasikan Pancasila alat menyatukan nusantara, sebaliknya kini Pancasila disalahgunakan sebagai alat pembenaran, memecah belah dan menyerang kubu berbeda pandangan. Sikap paling benar dan paling NKRI, merasa punya otoritas menafsirkan Pancasila dan menentukan mana yang pancasilais atau anti Pancasila. Tanpa disadari, pihak yang melakukan cara-cara barusan telah gagal mengambil pelajaran dari masa lalu. Perbuatan tadi paradoks dengan sejarah lahirnya Pancasila yang diwarnai sikap tolerasi tingkat tinggi. Mengutip sumber sejarah, dalam sidang BPUPKI kubu Islam punya perwakilan terbanyak dan unggul suara (35 orang anggota). Mengacu ke prinsip demokrasi suara mayoritas penentu suatu keputusan. Waktu itu terjadi perdebatan panas dengan kubu lain soal keinginan dasar negara Indonesia berdasarkan Islam. Meski mayoritas dari segi suara, kubu Islam rela berkorban dan berkompromi guna kepentingan lebih besar yakni membangun cita-cita negara Indonesia yang hendak dicapai secara bersama. Begitulah bapak pendiri bangsa dalam merumuskan dan mendiskusikan penetapan dasar lima pilar dasar berdirinya NKRI, juga dilalui secara negarawan, cerdas, intelek dan lepas dari kesan emosi serta pemaksaan kehendak. Berbeda keadaan sekarang, mendiskusikan Pancasila seakan angker dan disikapi secara emosional serta selalu diarahkan ke satu kesimpulan yang tak boleh dibantah.

Kemudian sehubungan sikap latah tukang klaim, Pancasila bukan label atau kayak lahan untuk dikapling. Penentu jiwa Pancasila tampak dalam kehidupan. Oleh karena itu, sikap merasa paling pancasilais harus segera dihentikan. Sebab akan menghantarkan bangsa ke lembah kehancuran. Bicara praktik dan penerapan, problematika bukan di tingkat akar rumput. Akan tetapi darurat Pancasila justru di level elit atau pengambil kebijakan. Tak sedikit regulasi dan kebijakan mengundang kontroversi. Semisal UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kok bisa kebijakan ditentang luas rakyat dari berbagai kalangan dipaksakan berlaku? Kami selaku anggota Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) DPRD Riau menganggap itu preseden buruk. Sekaligus kegagalan pusat memberi teladan ke daerah. Mustahil sebuah UU mengakomodir nilai Pancasila ketika proses penyusunan saja tak sejalan dengan konstitusi. Terakhir dan terpenting, rakyat berharap contoh dari level pimpinan negara. Sayangnya realita tak bersambut. Paling heboh pidato Presiden Joko Widodo baru-baru ini yang mengaku harus cawe-cawe di Pemilu 2024 demi “kepentingan negara”. Walau Jokowi bilang tetap akan berjalan sesuai peraturan perundang-undangan, tapi dalih “kepentingan negara” terlanjur mengundang kecurigaan. Pertama dalam sejarah bangsa pemimpin negara kepo dan sibuk mengurusi siapa kandidat pemimpin ke depan.

Padahal banyak isu krusial terkait penegakan nilai Pancasila yang menantikan cawe-cawe pimpinan negara. Semisal perlindungan terhadap agama dan simbolnya, dimana penista agama terkesan dilindungi, di satu sisi instansi negara mensponsori pandangan toleransi kebablasan berbungkus tema moderasi mirisnya di sisi lain instansi pemerintah memelihara orang-orang intoleran yang tak bisa legowo menerima perbedaan penetapan hari raya. Berikut aspek lain perwujudan sila pertama. Selanjutnya pemenuhan sila keadilan sosial di saat banyaknya kasus ketimpangan yang terang-terangan dipertontonkan. Khususnya penegakan hokum yang tumpul ke elit dan tajam ke orang lemah dan berseberangan. Rakyat menuntut haknya dikriminalisasi sementara oligarki dan orang yang merugikan negara difasilitasi. Beranjak ke sila lain, di tataran penyelenggaraan pemerintahan hubungan Pusat dan Daerah belum sepenuhnya berlandaskan prinsip musyawarah mufakat. Tengok saja bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) yang kerap diakal-akali. Sudahlah SDA daerah disedot, transfer daerah dikurangi dan dipotong dengan seribu alasan. Di luar itu masih banyak isu lain dalam konteks penerapan Pancasila. Memang pelaksanaan melekat di masing-masing individu. Meski begitu semua tak akan terwujud tanpa keteladanan dan ikhtiar membangun sebuah sistem. Peradaban hanya bisa dibangun lewat pembentukan karakter. Pembangunan karakter akan lebih efektif dibentuk lewat pendekatan tersistematis. Seiring nilai Pancasila tertancap jadi identitas diri manusia bangsa, inilah tameng sesungguhnya.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

RAMADHAN MODAL SOSIAL BERHARGA

Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebagaimana diketahui, terdapat perbedaan terkait jadwal permulaan puasa …