OMNIBUS “CILAKA” BAGI DAERAH ?

Pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) terus digesa di DPR RI. Sejak awal polemik terus bermunculan. Lebih separuh fase pembahasan makin heboh.

Paling anyar adanya pasal yang bisa menjerat penyelenggara satuan pendidikan formal dan non formal yang berdiri tanpa izin. Ancamannya pun tak main-main, tercantum di pasal 71 draf RUU hukumannya 10 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp. 1 miliar!

Pondok pesantren tradisional dan sekolah non formal di daerah jelas rentan terkena. Menurut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PKS, pasal usulan pemerintah tersebut belum dibahas secara seksama.

Fraksi PKS DPR-RI  dan sejumlah pihak sedari awal telah meminta agar pasal itu dicabut. Mengingat pendidikan adalah hak azasi. Satuan pendidikan yang dikelola swasta sepatutnya diberi support moril dan materil, sebab penyelenggaraan pendidikan kewajiban pemerintah. Jika dipandang perlu ada penyesuaian dengan peraturan, maka pendekatannya haruslah administratif bukan sampai pidana.

Kontroversi Omnibus Law tadi satu dari sekian yang perlu disorot, yang pada tulisan ini lokusnya dampak ke daerah. Pasal bermasalah di atas tentu akan membatasi kontribusi terhadap dunia pendidikan di daerah yang secara infrastruktur belum merata. Disamping menyoal pasal janggal pendidikan yang terselip di RUU Ciptaker, juga urgen untuk dipertanyakan apakah beleid “sapu jagad” sesuai namanya akan membawa keuntungan bagi daerah? Apakah sudah dibekali kajian terukur berikut instrumen dan indikator perencanaan ekonomi ke depan? Jangan-jangan gembar-gembor elit pusat yang bilang aturan ini senjata pemulihan ekonomi malah berujung angan-angan.

Seperti kebijakan paket ekonomi berjilid-jilid yang sudah-sudah, outputnya malah tidak jelas. Apalagi muatan Omnibus Law malah membawa bangsa mundur ke belakang seiring kentalnya nuansa sentralisasi. Idealnya dalam kondisi pandemi, pusat fokus upaya penanganan dan pemulihan baik itu keselamatan jiwa dan ekonomi. Bukan larut dalam agenda yang bikin buyar konsentrasi dan menguras pikiran dan tenaga. Memang itikad pemerintah pusat dibalik Omnibus Law baik: menimbang banyak regulasi menyulitkan investasi berikut terobosan menghindarkan bangsa dari ancaman resesi. Namun perlu diketahui, Omnibus Law bukan tongkat sim salabim yang efeknya langsung terasa. Ada jalan panjang tahap implementasi.

Ancaman Otonomi Daerah

Kekhawatiran dampak negatif RUU Omnibus Law bagi daerah bukan halusinasi. Tapi telah memicu kegusaran banyak pihak yang peduli warisan reformasi, yang salah satu produknya otonomi daerah.

Jadi sangat beralasan daerah harus bersuara. Menilik materi Omnibus Law yang dibahas, selain berpotensi ruwet berupa efek sosial dan politik bagi daerah ke depan juga mendegradasi pelaksanaan otonomi seiring “dikebirinya” kewenangan strategis daerah.

Simak saja draf RUU soal persetujuan terkait urusan bangunan yang sebelumnya ranah Pemda sekarang coba dialihkan menjadi kewenangan pusat. Pemda tentu bisa “lumpuh” ketika pengawasan berdirinya bangunan tak sepenuhnya di bawah kendali. Begitu juga pasal lain kewenangan Pemda baik provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan tata ruang yang turut berubah antara lain: pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, kewenangan Pemda menata ruang dan kawasan strategis di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, bahkan Pemprov tak dapat memfasilitasi kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota di lingkup provinsi serta penyusunan petunjuk bidang penataan ruang antar kabupaten/kota.

Ada lagi paling disorot isu kewenangan penetapan Amdal kegiatan usaha pada Omnibus Law yang coba ditarik menjadi domain pusat, berikut unsur transparansi penyusunan amdal yang semula ada diatur di UU 32/2019 namun di RUU dipertanyakan keberadaannya. Sejumlah kewenangan tadi selama ini ibarat jantung penyelenggaraan desentralisasi bagi Pemda.

Perubahan kewenangan mungkin akan membawa kebaikan bagi agenda pemerintah pusat -berikut elitnya- tapi tidak bagi daerah. Bila kewenangan Pemda benar-benar dipangkas implikasi riil tentu menurunnya pendapatan daerah. Sebut saja pemberian perizinan dan layanan atas usaha menghasilkan retribusi bagi daerah.

Kalau perizinan dialihkan ke pusat sementara daerah hanya diberi kewenangan dalam pengawasan, diragukan Pemda mau serius melakukannya. Wong ada pemasukan saja pengawasan belum optimal apatah lagi pendapatan daerah tak jelas. Belum lagi belum adilnya bagi hasil atau alokasi APBN daerah yang selama ini dikeluhkan daerah luar Jawa termasuk Riau, jelas ke depan makin berat beban jika kewenangan malah ambyar.

Namun kritikan lain yang lebih utama perihal ancaman terhadap implementasi otonomi sebagai amanat Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Apalagi menurut RUU Presiden bakal diberi kewenangan dominan melaksanakan urusan pemerintahan daerah, konsekuensi bunyi pasal bahwa jika ada hal-hal yang belum dijangkau oleh RUU Cipta Kerja maka bisa diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Pasal ini selain janggal secara hukum juga lagi-lagi memicu perkara. Memang dalam konsep pembangunan agenda daerah harus selaras dengan pusat. Selama ini juga sudah berlaku, berjalan baik dan cukup progresif. Bahkan setiap penyusunan APBD selalu mengacu ke prioritas pembangunan nasional. Jika Presiden ingin menyelaraskan tujuan pusat dengan daerah atau “memaksa” dukungan daerah guna mengakselerasi agenda nasional atau pusat, lakukan secara konstitusional. Sementara muatan Omnibus Law justru bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang diamanatkan UUD 1945.

Berdasarkan pemaparan tadi, perlu bagi pusat mendengarkan suara daerah. Daerah pun berhak menyuarakan aspirasi agar kepentingan daerah ke depan tidak dirugikan. Karena desentralisasi warisan reformasi paling berharga dan diperjuangkan dengan air mata dan berdarah-darah.

Otonomi daerah sebuah keniscayaan dalam demokrasi modern dan jika perlu dilakukan pembenahan maka tidak boleh bertabrakan dengan UUD 1945. Ini bukan soal sentimen dan ego kedaerahan tapi soal pemerataan pembangunan dan kesejahteraan ke daerah. Mahfum bahwa daerah lebih paham kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya makanya UUD 1945 memberi kewenangan khusus kepada Pemda. Karena agenda pembangunan bukan hanya dimiliki pemerintah pusat, tetapi daerah juga punya agenda dan kepentingan yang sama seiring amanat masyarakat yang diserahkan kepada penyelenggara pemerintahan daerah. Munculnya kritikan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang di awal-awal dipelesetkan dengan RUU Cilaka bukan tanpa sebab. Reaksi muncul akibat muatan aturan sarat kontroversi. Jika terus dipaksakan, boleh jadi menguntungkan pusat tapi “cilaka” (baca: celaka) bagi daerah

Penulis: Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau)

Baca Juga

Sampai Jual Kebun, Pasien Asal Meranti Ini Sebut Rumah Singgah PKS Sangat Membantunya

Pak Adam, usianya tak lagi muda, tubuhnya kurus. Sudah dua pekan ia berada di Rumah …