Budaya Sarana Majukan Bangsa

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Dalam kegiatan silaturahim bersama Ikatan Keluarga Besar Jawa Tengah (IKB-Jateng) Provinsi Riau akhir bulan lalu (25/6/2023), Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar mengajak peserta acara melestarikan budaya dan bahasa daerah. “Bagaimanapun budaya ini harus kita lestarikan sampai ke anak cucu kita dan sampai kapanpun,” ujar Gubri. Beliau juga mengungkap urgensi menjaga bahasa daerah seiring berkembangnya zaman, yang bikin unsur budaya kayak bahasa daerah mulai jarang dipakai masyarakat. Pidato orang nomor satu di Riau itu sangat tepat. Sebab ketika unsur budaya punah, Indonesia yang terkenal keragaman suku, agama dan bahasa tak ada artinya lagi. Budaya dan kearifan lokal merupakan salah satu kekayaan nusantara yang membuat bangsa kita unik. Selain fungsi identitas, juga modal sosial untuk mengarungi zaman. Apalagi di tengah gencarnya serangan nilai luar yang kian merusak. Mulai impor cara pandang yang mengedepankan sifat individualistis, egoisme dan anti-sosial hingga gaya hidup seks bebas dan perilaku menyimpang seperti LGBT. Melihat beratnya tantangan dan hambatan yang menghadang dibanding masa lampau, maka dibutuhkan gagasan dan langkah strategis berupa perencanaan kebudayaan sebagai basis pengembangan peradaban.

Dalih di atas melatarbelakangi perumusan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) Melayu Riau. Berikut ditindaklanjuti penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pemajuan Kebudayaan Melayu Riau yang mana prosesnya masih terus berjalan. Tahapan saat ini menampung masukan dari berbagai pemangku kepentingan seoptimal mungkin. Semisal melalui acara seminar bersempena hari jadi Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau ke 49, forum uji publik draf Ranperda yang dilakukan Dinas Kebudayaan Provinsi Riau bulan lalu (6/6/2023) di Taman Budaya Riau, termasuk di kelembagaan DPRD Provinsi Riau. Merancang “peta” pemajuan budaya melayu dipandang perlu. Secara momentum, tahun 2017 menjadi pijakan pengembangan kebudayaan sehubungan diterbitkan Undang-Undang nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ditambah visi misi Provinsi Riau sebagaimana tercantum dalam RPJMD 2019-2024, misi ke-4 dipaparkan arah pembangunan jangka menengah Provinsi Riau yakni “Mewujudkan Budaya Melayu Sebagai Payung Negeri dan Mengembangkan Pariwisata Yang Berdaya Saing”. Inilah cita-cita masyarakat Riau yang hendak dicapai. Sekaligus deklarasi kebanggaan atas nilai Melayu.

Kebanggaan

Kebanggaan dirasa sangat beralasan. Menimbang Riau mempunyai nilai lokal mendunia dan diakui kebijaksanaannya. Sebuah falsafah nilai yang terkristalisasi dari ajaran Islam yang inklusif dan progresif. Sejarah kejayaan melayu bukti empirik. Kerajaan dan masyarakat melayu tempo dulu memainkan peran sentral dan membuka hubungan luas lintas Asia Tenggara. Mulai perdagangan, sosial, hubungan antar pemerintahan (kerajaan) dan dimensi lain. Sebuah anugerah luar biasa bagi Riau bisa berada di kawasan sejarah imperium Melayu sebagai pusat perkembangan dinamika kebudayaan. Tapi kita tak ingin jadi generasi yang bisanya membanggakan masa lalu saja. Kalau mau mengulang kembali kejayaan tersebut kuncinya perkuat modal sosial. Oleh karena itu, komitmen selaku bagian dari Riau sangat dinanti. Diawali aspek pelestarian. Ratifikasi UNESCO WHC membuka peluang bagi Indonesia terutama Riau untuk mengajukan Memory of the World (MoW) dan Cultural Heritage. Tujuan pengusulan MoW dan Cultural Heritage supaya dapat ditetapkan kawasan alam dan properti budaya tertentu sebagai aset bersama dan dihargai universal. Tak hanya itu, aset dimaksud akan mendapat perhatian lebih memadai baik regional, nasional dan internasional. Berupa program konkrit guna menjaga kelestarian. Secara aset, Riau dalam keadaan siap. Karena memiliki potensi warisan sejarah (heritage) dan budaya (living culture) begitu banyak, unik dan dapat dikembangkan. Tinggal sekarang itikad daerah memulai langkah kecil untuk meraih capaian lebih besar. RIPK bukti komitmen, kepedulian, konsistensi dan tanggung jawab Pemda Riau terhadap usaha pembangunan kebudayaan. Demi mengantisipasi tren perkembangan dunia dan perjuangan memasukkan unsur budaya melayu Riau ke dalam warisan dunia.

Berikutnya, menjaga kebudayaan tak melulu bicara yang tampak. Kebudayaan berkaitan dan berperan signifikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ambil contoh Jepang, walau modernitasnya diakui dunia, pembangunan tak mengenyampingkan nilai tradisional. Sebab budaya elemen pembentuk karakter. Oleh karena itu setiap kebijakan pemerintah mesti mempertimbangkan budaya masyarakat. Beda di kita, kebijakan dan program pemerintah sering berjalan tak sesuai harapan akibat gagal paham budaya masyarakatnya dan mengenyampingkan unsur pembangunan manusia. Alhasil proyek buang-buang duit. Disamping itu, pemajuan kebudayaan lebih menonjolkan promosi dan kapitalisasi. Budaya dilihat cuman magnit penarik turis. Bahkan demi memenuhi hasrat mengejar nilai ekonomi destinasi budaya, tak segan-segan menggeser masyarakat tempatan. Kesesatan paradigma akhirnya mengikis budaya itu sendiri. Perlu ditiru sikap Gubernur Bali yang berani “melawan” program Keluarga Berencana (KB). Sang Gubernur beralasan nama anak keempat di Bali, Ketut, terancam punah atau berkurang. Sekedar info, budaya Bali anak pertama diberi nama Putu, Wayan, Gede. Anak kedua Made, Kadek, Nengah. Anak ketiga Komang atau Nyoman dan anak keempat Ketut. Tagline “dua anak cukup” KB ditenggarai menyebabkan warga Bali kehilangan minat punya anak hingga empat. Sepintas sederhana tapi cukup logis. Upaya proteksi inilah yang dinantikan. Pemajuan budaya tanpa memproteksi unsurnya sia-sia saja.

Membangkitkan rasa bangga akan nilai dan norma kunci pemajuan kebudayaan. Tanpa itu melahirkan generasi minder. Fenomena ini tersaji di hadapan kita. Takjub melihat budaya luar, merasa rendah, tak percaya diri menyampaikan atau meluruskan perbuatan menyimpang dari nilai dan norma. Ini tampak kasatmata di segala lini. Efeknya sungguh berbahaya. Sikap minder membuat seseorang bisa kehilangan fanatisme kebangsaan. Tengok saja kebijakan tenaga kerja. SDM bangsa sendiri dikerdilkan, sementara tenaga kerja asing diagung-agungkan. Sedikit banyak ini dampak dari sikap minder. Padahal secara kemampuan insan bangsa ini tak kalah pintar dan hebat. Sikap yang condong mengerdilkan potensi bangsa sendiri atau nilai dan norma yang dianut bertolakbelakang dengan pandangan Kebudayaan Nasional menurut TAP MPR nomor II Tahun 1998 yang berlandaskan Pancasila. Tertera bahwasanya pembangunan nasional haruslah berorientasi mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa. Diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian pembangunan nasional punya ciri khas. Output semua itu terwujud masyarakat Indonesia berdaulat secara politik, berdikari ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

KEMITRAAN KUNCI KEMAJUAN

Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menempati posisi pertama jenis pekerjaan yang menyumbang banyak tenaga …