Pekanbaru – Konflik yang melibatkan tenaga kerja lokal dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di Indonesia marak terjadi belakangan. Teranyar viral di media sosial video adu mulut antara TKA asing level manajerial sebuah perusahaan di Grobogan Jawa Tengah yang berkebangsaan India dengan pekerja Indonesia. Bermula dari pekerja yang tak terima atas sikap dan perlakuan kurang menyenangkan dari sang pimpinan, rekaman video menguak sisi gelap. Rupanya pekerja kerap bekerja lembur namun tak mendapat bayaran sesuai kontrak. Netizen menduga banyak pekerja dicurangi, tapi memilih diam dan cari aman. Setelah video dimaksud viral, Pemerintah melalui Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Jawa Tengah menerbitkan nota pemeriksaan. Pihak Mediator Hubungan Industrial Disnaker Grobogan dan Polres Grobogan juga memeriksa pihak perusahaan. Hasilnya ditemukan bahwa didapati pelanggaran terhadap pembayaran upah lembur sejak September 2022. Menimbang pelanggaran, Kemnaker menegaskan ke perusahaan agar mematuhi aturan perundang-undangan berlaku. Pihak perusahaan akhirnya menyatakan akan membayar kekurangan upah lembur tersebut.
Syukur insiden barusan viral, dapat diselesaikan segera dan tidak berlarut-larut. Mengingat sebelumnya sempat panas pemberitaan bentrok antara TKA Tiongkok dengan pekerja lokal Indonesia di perusahaan nikel di Morowali Utara, Sulawesi Tengah yang menyebabkan kerusuhan dan jatuhnya korban jiwa. Konflik berawal dari desakan aksi mogok kerja dari pekerja. Dalam aksi protesnya, pekerja menyampaikan beberapa tuntutan yaitu supaya perusahaan menerapkan prosedur K3 dan faktor kenyamanan dan keamanan jiwa pekerja semisal memperhatikan sirkulasi udara di tiap gudang smelter, memperjelas hak-hak pekerja dan memperlakukan secara adil. Kemnaker melalui tim Pengawas Ketenagakerjaan dan Mediator Hubungan Industrial mengatakan bahwa apabila pemeriksaan oleh tim Kemnaker menemukan bukti bahwasanya perusahaan tidak menjalankan peraturan dan kebijakan tentang ketenagakerjaan baik berupa penegakan norma kerja maupun K3, akan ditindaklanjuti langkah-langkah hukum. Kita tunggu saja, semoga prosesnya berjalan baik dan aspirasi pekerja didengar.
Bom Waktu
Secara garis besar, dua insiden yang diulas di permulaan tulisan punya kesamaan. Yakni adanya ketentuan yang tak dipenuhi pihak perusahaan dan ketidakadilan perlakuan. Perihal disebut terakhir contohnya gaji. Hasil rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI mengungkap ketimpangan upah yang diterima Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dibanding TKA khususnya asal Tiongkok meski sama-sama pekerja kasar. Problematika tersebut ibarat bom waktu. Konflik hanyalah puncak akumulasi kemarahan pekerja yang tak bisa lagi memendam terlalu lama. Menyoal TKA asing memang isu yang sensitif. Riau pun tak luput. Tahun 2017, Kantor Imigrasi Pekanbaru mendeportasi 88 orang TKA asal Tiongkok yang bekerja di Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya asbab melanggar keimigrasian. Mulanya Imigrasi menemukan 109 TKA bekerja di sana. Setelah diperiksa dan didata, hanya 21 orang yang punya izin tinggal sementara sebagai pekerja. Sisanya (88 TKA) tanpa visa kerja. Modusnya, mereka datang modal visa kunjungan wisata dan bekerja di perusahaan pihak ketiga yang menggarap proyek PLTU. Tak hanya itu. Dulu beredar informasi rencana “impor” 1.500 TKA untuk pembangunan pabrik perusahaan besar di Pelalawan. Menaker waktu itu, Hanif Dhakiri, spontan menolak dan mempertanyakan urgensi mendatangkan TKA asing (27/2/2018).
Tulisan ini tak bermaksud memprovokasi atau mengarah ke sentimen ras. Tapi keresahan sulit diredam manakala keadilan gagal diwujudkan. Selama puncak pandemi, di saat gelombang massal PHK dan banyak pekerja dirumahkan, selalu tersiar kabar di media yang memberitakan masuknya TKA. Kala mobilitas dan aktivitas usaha di dalam negeri dibatasi, Pemerintah tampak begitu mudah membiarkan TKA lalu lalang. Bagi pekerja lokal yang tengah berjuang hidup di negeri sendiri menilai sederhana: sungguh tidak fair. Persepsi negatif makin bertambah merujuk jauh kebelakang, ketika Pemerintah menghapus peraturan yang mengharuskan TKA menguasai bahasa Indonesia. Semestinya peraturan itu tetap berlaku sebab sejalan asas resiprokal. TKI ke Jepang dituntut mengerti bahasa Jepang, ke Korea dilatih bahasa Korea, begitupula TKA masuk ke sini harus melatih diri berbahasa Indonesia. Toh tujuannya baik. Supaya TKA dapat memahami aturan, norma dan budaya setempat. Selain itu juga bagian dari kebijakan pengendalian TKA. Kita sepakat Pemerintah perlu membenahi layanan administrasi bagi TKA supaya efisien dan sederhana. Namun tetap harus selektif.
Martabat
Sayang kebijakan yang berlaku tidak begitu. Pemerintah mulai pusat dan daerah kelihatan lebih condong ke kebijakan pelayanan TKA saja. Semestinya pelaksanaan kedua aspek (pelayanan dan pengendalian) bersamaan. Selain menetapkan kemampuan berbahasa Indonesia, kebijakan pengendalian berikutnya menyangkut kualifikasi TKA. Lagi-lagi kebijakan TKA banyak melenceng. Terlebih di tengah menggebu-gebunya hasrat menarik investasi asing. Terkesan segala cara ditempuh. Kembali ke soal penghapusan syarat bisa berbahasa Indonesia, menurut Pemerintah alasannya supaya tidak menghambat investasi. Kemnaker Hanif Dakhiri bilang banyak pemodal asing mengeluhkan syarat tersebut dan urung berinvestasi di Indonesia. Dalih tadi sepintas kayak mengada-ngada dan terlalu menyederhanakan. Seolah investor asing memandang bahasa urusan gawat. Kenyataannya, hasil kajian menyebut penghambat investasi adalah regulasi yang tak jelas dan sering gonta-ganti, lemahnya penegakan hukum, keterbatasan infrastruktur di daerah dan daya saing SDM dalam negeri. Semua ini terpulang kepada kinerja Pemerintah Pusat dan Daerah.
Perkara TKA harus betul-betul jadi perhatian bersama. Kita tidak anti investasi asing dan TKA. Serupa negara lain, Indonesia terbuka bagi pekerja luar. Akan tetapi harus sejalan dengan ketentuan berlaku dan mengedepankan kepentingan negeri. Jangan gara-gara investasi –maaf- semua dilacurkan. Semoga peristiwa telah dipaparkan memberi pelajaran. Terpenting pengawasan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pembenahan mendesak pada data pekerja utama sekali TKA. Balik mengulas kasus TKA di PLTU Riau, data pihak Imigrasi dan Disnaker Provinsi Riau punya versi masing-masing. Sudah bukan rahasia lagi, soal data lemah sekali. Ini fenomena nasional. Data TKA online dan yang disetor PT. GNI di Morowali Utara Sulawesi Tengah yang rusuh, juga tak sinkron. Berangkat dari sini, Riau perlu memperkuat tim PORA (Pemantauan Orang Asing) melibatkan Imigrasi, Kejaksaan, Kepolisian dan Kesbangpol Provinsi. Diantaranya guna mengidentifikasi TKA yang bekerja di wilayah Provinsi Riau. Pengawasan berikutnya kegiatan usaha yang berasal dari investasi asing. Sehingga Pemda tak sekedar buka pintu investasi tapi bagaimana bisa diselaraskan dengan kepentingan pembangunan daerah. Kalau TKA yang didatangkan punya kualifikasi mumpuni atau kategori ahli tentu sangat bagus. Harapannya terjadi alih pengetahuan dan kemampuan ke pekerja lokal. Tapi jika yang datang sekelas pekerja kasar (low skill), untungnya dimana? Sudah tahu secara statistik tingkat pendidikan pekerja lokal didominasi SD-SMP dan status pekerjaan paling banyak adalah buruh. Sudahlah status sama-sama buruh, upah TKA lebih besar. Lantas mau dikemanakan martabat bangsa?
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU