MASIH SAKTI KAH PANCASILA?


1 Oktober merupakan hari penting dalam kalender kebangsaan. Sekaligus momen getir nan mengiris hati. Bukan hanya bagi para pahlawan beserta keluarganya dan korban lain kebengisan gerakan 30 September 1965 atau akrab dikenal G30S/PKI, kepedihan turut dirasakan sebagian besar warganegara. Terutama di benak masyarakat Melayu, kekejaman komunis selalu diingat. Seperti gerakan pembantaian Maret 1946, dimana kelompok komunis menargetkan Kesultanan Melayu di Sumatera Timur. Berkedok keinginan menghapuskan feodalisme, monarki dan aristokrasi, mereka menghasut masyarakat seraya melemparkan fitnah keji ke Kerajaan Melayu. Gerakan dilakukan sangat brutal. Sultan dan tokoh utama kerajaan disiksa, ratusan tokoh Melayu dibunuh, istana dan rumah-rumah dijarah serta para wanitanya diperkosa. Tokoh Sumpah Pemuda 1928 dan tokoh pergerakan nasional Tengku Amir Hamzah tak luput dari incaran. Beliau ditawan lalu dibunuh dan jenazahnya dikubur di perkebunan tebu.
Wajar kemudian secara sporadis rakyat menumpahkan amarah dan melakukan pembalasan ke setiap individu terlibat PKI. Kini 58 tahun telah berlalu. Akan tetapi topik tentang pengkhianatan PKI selalu hangat tiap tahun. Terlebih rentang beberapa tahun belakangan berhembus sejumlah kabar miring. Mulai isu percobaan pencabutan TAP XXV/MPRS/1966 yang isinya melarang ajaran komunisme/marxisme, lalu pidato Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo saat pengesahan Perppu Ormas nomor 2/2017 yang mengecualikan paham komunisme dan marxisme, berikutnya video viral pernyataan Panglima TNI Jendral Andika Perkasa yang menyatakan anak-anak PKI boleh menjadi anggota TNI, teranyar terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) 17/2022 yang menurut banyak tokoh dan Ormas keagamaan terkemuka dikhawatirkan berpeluang dimanfaatkan untuk merehabilitasi hak-hak orang yang pernah terlibat PKI. Syukur Pemerintah mengklarifikasi sebagian isu, yang menyatakan tidak benar adanya.
Meski tragedi tinggal kenangan dan dendam tak boleh dilestarikan, tapi bukan berarti masa kelam dilupakan atau dihapus begitusaja dari memori kebangsaan. Di semua negara pengkhianatan diperlakukan sama. Contoh Jerman, hingga sekarang NAZI dan segala simbolnya tetap terlarang dipublikasikan. Semua yang berkaitan pun tabu dibicarakan. Indonesia sudah betul menerapkan perlakuan sama ke PKI. Baik pelarangan simbol, eksistensi dan penyebaran paham. Karena kejahatan dan permusuhan yang diperbuat PKI benar-benar di luar batas. Mereka juga terang-terangan merubah Pancasila sebagai filosofi bangsa. Jadi kalau ada yang bilang Islam anti Pancasila jelas tuduhan yang sama sekali tidak mendasar. Bukti penuduhnya minim literasi. Pancasila lahir akibat kelegowoan kelompok atau kubu Islam. Kendati di sidang BUPKI kubu Islam mayoritas, yang mana dalam kacamata demokrasi pemilik suara terbanyak bisa memutuskan, namun kubu Islam merelakan Piagam Jakarta demi tujuan dan cita bersama. Kebalikannya, PKI yang mengklaim paling Pancasilais sampai- sampai pentolannya DN Aidit menerbitkan buku berjudul “Membela Pantja Sila”, namun justru mereka memusuhi dan mengobrak-abrik Pancasila.
Menjaga Kesaktian Pancasila
Bicara refleksi, pertanyaan mengemuka bersempena peringatan Kesaktian Pancasila antara lain: apakah Pancasila masih sakti? Pertanyaan muncul akibat menyeruaknya kegelisahan dan kebimbangan di masyarakat yang makin ke sini mendapati begitu banyak realita tak lagi berkesesuaian dengan Pancasila. Sila-sila fasih dilafalkan di bibir saja; sekedar retorika pidato acara. Sementara penerapan susah dan langka. Paling dipertanyakan level kepemimpinan selaku pemberi teladan. Kita saksikan bersama, tak jarang peraturan dan kebijakan dibuat tak berpihak ke rakyat dan lebih mengakomodasi kepentingan elit dan konglomerat. Demi investasi apapun ditempuh. Walau aturan dibuat melanggar konstitusi serta mengenyampingkan hak-hak dan suara masyarakat. Mestinya negara (baca: Pemerintah) membuka diri ketika elemen masyarakat melayangkan protes. Apalagi jika kritikan dan tuntutan dilayangkan benar-benar didasarkan kondisi dan situasi yang dinilai tidak berkeadilan dan zalim. Sesungguhnya inilah bentuk atau cara menjaga Pancasila.
Bukti cinta bangsa diukur dari seberapa peduli kita akan problem kebangsaan dan kerakyatan. Kembali bercermin ke sejarah, peristiwa 1965 bukan semata menyoal pengkhianatan PKI. Aspek lain berkontribusi. Kegagalan Pemerintah mengelola ekonomi dan menjalankan agenda kesejahteraan rakyat, kekesalan rakyat melihat menteri Kabinet Dwikora hidup berfoya-foya di tengah kesulitan rakyat, ditambah cengkeraman PKI. Adapun disebut terakhir bak menyiram bensin ke api. Saat itu perekonomian Indonesia nyaris ambruk. Harga BBM naik drastis diikuti melambungnya harga kebutuhan. Menurut Bank Indonesia (BI) dalam “Sejarah Moneter Periode 1959-1966”, laju inflasi teramat tinggi. Situasi memburuk tahun ke tahun. Keuangan negara defisit. Doktrin ekonomi terpimpin yang berorientasi sentralisasi menguras ekonomi karena dipakai membiayai proyek politik ambisius penguasa. Wartawan senior Rosihan Anwar menulis bahwa pejabat menteri melarang bawahannya menyampaikan kabar sebenarnya ke Presiden Soekarno alias ABS (Asal Bapak Senang). Alasannya “Takut Bapak marah.” Emosi rakyat memuncak manakala kekuasaan memelihara PKI ditambah tudingan yakni pejabat di lingkar kekuasaan jadi “antek Peking”. Penyebabnya apa-apa condong ke China.
Turunnya rakyat, pemuda dan mahasiswa ke jalan bersatu dengan slogan “Bubarkan PKI, Reetol Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga!” rupa tindakan menjaga Pancasila. Kalau saja rakyat, para pahlawan revolusi, ulama dan santri memilih diam, tidak berani beroposisi terhadap PKI yang masa itu bercokol di pucuk kekuasaan, boleh jadi Indonesia dikuasai paham komunis. Pembubaran dan pelarangan Partai Masyumi yang anti PKI adalah bukti kuatnya pengaruh PKI di Pemerintahan. Para pendahulu bangsa tak hanya menghadapi fitnah dan tuduhan yang dilemparkan PKI, namun juga bertaruh nyawa demi Indonesia. Hasil pengorbanan barusan, penyalahguna kekuasaan dan pengkhianat dapat dijatuhkan. Berangkat dari paradigma tadi jelas bahwasanya kesaktian Pancasila tidak terwujud dengan sendirinya. Artinya sakti atau tidak tergantung kesungguhan negara dan rakyat secara kolektif berupaya menerapkan, melestarikan dan mempertahankan di ranah realita. Dari pemaparan, iktibar di Hari Kesaktian Pancasila supaya generasi bangsa tidak mengulangi kesalahan sama. Mengutip perkataan bijak “mereka yang tidak kenal masa lalunya akan dikutuk mengulangi kesalahan di masa lalunya itu.” Momen 1 Oktober mengajarkan kita waspada terhadap pengkhianat bangsa dan memelihara Pancasila dari pihak yang coba merongrongnya.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.
ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Ahmad Tarmizi, Sambut Anies Baswedan di VIP Bandara Sultan Syarif Qasim II

Pekanbaru – Kampanye Nasional Capres no urut 1 di Pekanbaru Rabu (13/12/23) dihadiri langsung oleh …