Saat pembukaan acara Rapat Kerja Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Desa se Provinsi Riau Tahun 2023 yang bertempat di SKA CoEx Pekanbaru (2/11/2023), Syamsuar dalam pidatonya membanggakan keberhasilan program Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Seperti diketahui, sepanjang 2019-2023 Pemprov sudah menyalurkan BKK teruntuk 1.591 desa di 10 kabupaten se-Provinsi Riau. Total Rp1,12 triliun digelontorkan. Mengacu ke data, hasil yang diperoleh memang menggembirakan. Di tahun 2019 jumlah desa mandiri hanya 10 desa lalu bertambah signifikan menjadi 600 desa di tahun 2023. Adapun desa maju dari 163 desa pada 2019 bertambah 585 desa di 2023. Bukan hanya meng-upgrade status desa, di sisi lain mengurangi desa kategori tertinggal. Rinciannya: jumlah desa berkembang di tahun 2019 berjumlah 951 desa berkurang menjadi 406 desa. Begitupula desa tertinggal dan desa sangat tertinggal yang secara keseluruhan sebanyak 467 desa di tahun 2019 sekarang tak ada lagi.
Membaiknya nasib desa di Riau tercermin dalam Indeks Desa Membangun (IDM), yang mana indeks Riau 2023 atau masuk kelompok Maju dengan skor 0,7707. Riau pun “naik kelas”. Semula peringkat ke-17 menanjak ke-7 dari 36 Provinsi di Indonesia. Kami selaku anggota DPRD Provinsi Riau mengapresiasi capaian tadi. Ini secuil keberhasilan manakala BKK dipergunakan sebagaimana mestinya. Dalam kerangka Otonomi Daerah (Otoda) membuktikan desentralisasi dan penyerahan sebagian tugas dan kewenangan ke daerah dapat membawa perubahan signifikan. Sebaliknya, menarik kewenangan yang telah diserahkan ke daerah kembali ke pusat seperti urusan Minerba yang ditempuh Pemerintahan Joko Widodo dinilai antitesis reformasi dan desentralisasi. Walau perjalanan Otoda penuh kekurangan dan banyak cabaran, ini hanya perkara proses dan waktu. Negara maju di dunia ini memakan proses panjang. Bukan satu malam. Esensi Otoda adalah kepercayaan dan saling menguatkan. Pusat membimbing Pemda begitu seterusnya Pemda memperkuat tata kelola pemerintahan desa. Proses kolektif inilah jalan membangun dan memajukan bangsa.
Kontribusi
Dana yang sudah disalurkan ke desa terbilang besar. Baik yang bersumber dari APBN dan APBD. Oleh karena itu perlu pengawasan dan pengelolaan secara baik sesuai petunjuk yang telah diberikan. Supaya dipergunakan dan diprioritaskan untuk membangun desa, memberdayakan masyarakat, meningkatkan pelayanan publik, mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian dan mengatasi kesenjangan. Kita berharap desa terus berbenah dengan pembangunan. Namun pembangunan dimaksud bukan sekedar polesan fisik dan proyek mercusuar kayak gedung perkantoran. Bagaimana pembangunan ditempuh menghasilkan output berupa peningkatan taraf hidup manusia desa, memajukan desa dan menyukseskan agenda nasional. Semua bisa ditempuh bila kemandirian desa terwujud. Topik kemandirian relevan diangkat. Salah satu indikator mengukur kemandirian desa ialah pendapatan. Desa harus mampu menggali pendapatan secara optimal dan berkeadilan. Berkeadilan disini bermakna upaya menggali pendapatan jangan sampai memberatkan warga. Seiring meningkatnya pendapatan akan meminimalisir ketergantungan kepada bantuan Pemda dan Pusat. Meski dana desa akan tetap ada sebab sudah diatur regulasi, akan tetapi ketergantungan akut bukan sinyal bagus. Secara teori ini disebut pola hubungan instruktif. Ujungnya peran pemerintah di atas lebih dominan daripada pemerintah tingkat di bawah. Maknanya perangkat desa gagal menunjukkan kinerja sesuai kewenangannya, termasuk ekstensifikasi dan intensifikasi sumber pendapatan. Hal sama berlaku ketika Provinsi dan Kabupaten terlalu bergantung ke bantuan finansial pusat. Ketergantungan pertanda belum terpenuhinya spirit Otoda di sisi keuangan.
Selain itu, dalam bingkai Otoda desa tak semata menuntut tapi juga dituntut berkontribusi terhadap kepentingan nasional. Apalagi peran desa sangat vital dalam konsep politik model apapun. Ironisnya di kita, desa belum belum lepas dari imej tertinggal. Kendati menyuplai Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja dan komoditas ke kota, sayang buahnya justru lebih banyak dinikmati kota. Berangkat dari fenomena, dana desa kunci membangun desa berdikari. Cukup banyak success story desa yang mampu menghasilkan pendapatan lalu dipakai untuk membangun dan mensejahterakan warga. Contoh fenomenal Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. Desa yang dihuni 6.000 warga itu dijuluki desa miliarder mengingat Pendapatan Asli Desa (PAD) mencapai Rp 3,412 miliar. Ini efek keberhasilan pengelolaan dana oleh Pemerintah Desa. Mereka memfasilitasi transaksi keuangan masyarakat seperti transfer uang, pembayaran listrik, air pengisian pulsa dan lain-lain melalui BUMDes, mengelola air masyarakat (PAM), bisnis pengelolaan sampah lewat Unit Kebersihan Desa hingga yang bikin kesohor memoles lahan bekas tambang jadi destinasi wisata. Terobosan barusan memasukan Desa Sekapuk ke anggota ASEAN Village Network (AVN). Warga turut kecipratan berkah. Mulanya berpenghasilan Rp 400.000 sebulan kini kisaran Rp 6-7 juta perbulan. Makin kagum, dulu desa ini tertinggal. Kesenjangan sosial sangat tinggi dan rawan konflik.
Pola seperti ini yang dikehendaki dari desa. Sehingga ekonomi nasional digerakkan dari bawah (bottom up). Sekaligus memutus “eksodus” manusia ke kota yang membuat desa ditinggal insan produktif. Sementara SDM dibutuhkan guna membantu kepentingan nasional lewat penguatan sektor pertanian dan perkebunan yang identik sebagai keunggulan desa. Terlebih isu ketahanan pangan amat urgen. Bicara pertanian Indonesia jauh tertinggal. Menurut laporan bank dunia tahun 2018, baru 10 persen petani indonesia memakai teknologi modern. Mayoritas masih tradisional. Bandingkan petani Vietnam dan Thailand yang adopsi teknologi modern. Mereka mendapat akses dan dukungan pelatihan yang baik berikut peralatan produksi. Tak heran mereka bisa panen 5 kali setahun sementara Indonesia cuman 2 kali setahun. Wajar data BPS melaporkan banyak petani hidup dibawah garis kemiskinan. Sungguh ironis. Indonesia diberkahi lahan pertanian terbesar ke 3 di dunia, diuntungkan keberadaan gunung berapi yang endapan abu vulkanik menyuburkan tanaman plus curah hujan tinggi yang mendukung pertumbuhan padi, namun kita importir beras. Vietnam dan Thailand eksportir karena kualitas beras stabil, biaya produksi murah dan output maksimal meskipun punya lahan terbatas.
Mengembalikan kejayaan sektor agraris idealnya misi utama dana desa. Memfasilitasi petani dan penyuluhan pentingnya beradaptasi dengan teknologi serta program lain menarik minat kalangan generasi muda desa bertani dan berkebun. Mengingat kepentingan nasional tentu tak bisa andalkan inisiatif pihak desa saja. Pemda diharapkan dapat mengonsolidasi agar potensi dan nilai unggul desa di Riau tergarap maksimal. Dalam konteks SDM, terkhusus rumpun urusan pendidikan di lingkup Pemprov Riau, keberadaan sekolah kejuruan pertanian perlu diperbanyak di desa potensial. Selanjutnya mengenai fasilitasi petani bukan sebatas memberi alat pertanian. Tapi bisa juga menstimulus lahirnya inovasi pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) yang dapat meningkatkan nilai tambah produk unggulan desa. Toh kita banyak perguruan tinggi mentereng dan ternama. Kami yakin tak sedikit pemuda memiliki ide brilian mengembangkan teknologi pertanian. Atau kalangan petani sendiri punya gagasan. Namun tak bisa mewujudkan sebab terkendala anggaran dan dukungan kebijakan. Dana desa semestinya diarahkan ke sana. Yakinlah apabila desa berdaya niscaya bangsa akan berjaya.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU