Dalam kunjungan Duta Besar (Dubes) Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam ke Riau belum lama berselang (15/11/21), Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau atas pembangunan berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam program Riau Hijau. Tujuan utama program dimaksud diantaranya diharapkan mampu mengurangi kerusakan hutan dan mengurangi kebakaran hutan akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Kita berharap komitmen disampaikan Gubri bukan sekedar respon sesaat sehubungan kedatangan Dubes Uni Eropa. Apalagi dalam kesempatan itu perwakilan Uni Eropa membawa sekarung peluang investasi dan bisnis di Riau. Pendekatan Uni Eropa sekarang juga terkesan “lebih terbuka” dengan komoditas kelapa sawit. Meski tetap menekankan concern terhadap isu lingkungan terutama meminimalisir deforestasi. Pendekatan tadi tentunya membawa dampak positif bagi Riau. Mengapa begitu?
Paling utama tentunya mencegah deforestasi akibat membuka lahan dengan cara menebang hutan. Ini penyebab hilangnya fungsi alam. Pada akhirnya menimbulkan kerugian dahsyat bagi kehidupan warga juga perekonomian daerah akibat bencana. Untuk Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau memperkirakan kerugian materil dialami Riau di tahun 2019 mencapai 50 triliun. Belum lagi banjir dan longsor. Dengan status Riau sebagai daerah sentra aktivitas perkebunan serta mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani, maka aspek lingkungan jelas perlu mendapat porsi perhatian paling besar. Akan tetapi kita ingin cari jalan tengah. Sehingga upaya kepedulian terhadap alam, mencegah deforestasi dan kerusakan lingkungan dapat berjalan beriringan dengan upaya memperkuat sektor pertanian dan perkebunan yang kontribusi terhadap perekonomian daerah begitu signifikan. Intinya budidaya dapat seiya-sekata dengan pelestarian.
Kerugian
Selain kekayaan alam, Riau dibekali keunggulan geografis. Namun dalam konteks pengelolaan sejauh ini boleh dibilang masih jauh dari optimal. Khususnya ketika membahas keberadaan lahan tidur, lahan marjinal atau lahan tidak produktif. Secara defenisi dan menurut para ahli, lahan tersebut diartikan sebagai lahan yang belum dimanfaatkan terutama untuk kegiatan bernilai produktif seperti pertanian dan perkebunan. Logika sederhananya, ketika lahan tidak digunakan secara optimal maka tidak akan memberi keuntungan bagi kehidupan manusia. Nilai keuntungan bukan hanya berupa budidaya melalui aktivitas pertanian dan perkebunan. Pengelolaan lahan tidur juga turut andil dalam konteks kebijakan mengurangi deforestasi dan kerusakan lingkungan. Menurut data ada sekitar 30.107.242 hektare masuk kategori lahan tidak dimanfaatkan atau tidur dan tidak produktif. Balitbang Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2015 pernah mengemukakan luas lahan marginal mencapai 157.246.565 hektar. Namun, potensi lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian baru 91.904.643 hektar, atau sekitar 58,4 persen saja. Adapun lahan tidur paling besar atau luas berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Untuk Riau belum diperoleh info pasti berapa jumlah total. Namun teruntuk Pekanbaru saja menurut data Dinas Pertanian (Distan) Kota Pekanbaru, luas lahan bukan sawah 63.226 hektare. Sementara lahan belum termanfaatkan di Pekanbaru seluas 3383,7 hektare. Boleh jadi didapati lebih luas di kabupaten/kota lain di Riau.
Lahan tidur dan marjinal jelas sebuah kerugian. Memang lahan tersebut sering dianggap kritis, miskin nutrisi dan tak potensial untuk bercocoktanam. Namun bila dibiarkan terus bertambah maka bisa menyumbang masalah. Paling nyata berpotensi menyumbang hotspot kebakaran lahan dan lain-lain. Ini terbukti sepanjang kasus Karhutla di Riau paling banyak terjadi di lahan tidur. Disamping itu, lahan tidur juga paradoks dengan kebutuhan. Diujung tanduknya sektor agraria butuh solusi segera. Kemampuan Pemerintah mencetak sawah dalam lima tahun terakhir kalah cepat dengan konversi lahan. Kondisi tadi jika dibiar terus-menerus bikin lahan pertanian menyusut. Kondisi sama juga dialami Riau. Program cetak sawah bisa stagnan atau malah mundur jika hanya mengandalkan pusat. Oleh karena itu, Pemda terutama Pemprov Riau dituntut proaktif. Disamping program cetak sawah, bisa dengan mengoptimalisasi lahan tidak produktif.
Potensi Ekonomi
Lembaga internasional Food Agriculture Organization (FAO) turut menaruh perhatian. Sejauh ini, lembaga tersebut sudah bekerjasama lewat program pengembangan lahan marginal untuk menunjang Program Upaya Khusus (UPSUS). Sejak tahun 2017 FAO bersinergi dengan Kementan mengembangkan lahan marginal di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan model Conservation Agriculture. Riau bisa saja tangkap peluang. Terlebih ada dana internasional bisa dimanfaatkan. Optimalisasi lahan tidur bagi Riau sangat urgen guna memenuhi kebutuhan daerah. Selama ini pemenuhan kebutuhan pangan, sayuran dan buahan banyak didatangkan dari Provinsi tetangga seperti Sumatera Barat atau Sumatera Utara. Ketergantungan tadi kurang baik. Jika bisa dikurangi secara bertahap, jelas peluang bagi petani Riau untuk memenuhi kebutuhan daerah. Perekonomian daerah pun bangkit. Kuncinya tentu diawali pembenahan: optimalisasi lahan tidur, lahan marjinal dan tidak produktif. Ajakan Gubri Syamsuar kepada para bupati dan wali kota menanami lahan kosong dan terlantar dengan tanaman pangan perlu diapresasi. Gubri pun menginspirasi dengan pamer hasil panen tanaman di lahan belakang kompleks Gubernuran dimana sebelumnya semak belukar. Tinggal sekarang melangkah ke narasi lebih besar ke tataran kebijakan agar dapat diperoleh hasil masif.
Di daerah sudah banyak cerita sukses komunitas masyarakat memanfaatkan lahan tidur. Salah satunya warga Kampung Tengah, Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak yang sukses menyulap lahan nganggur seluas 1,5 Ha menjadi lumbung padi bagi desa mereka. Lahan tidur mereka manfaatkan awalnya juga dicap tak layak tanam. Karena tiap musim banjir pasang surut dari Sungai Siak, kontur tanah selalu tergenang air. Namun berkat usaha dan sinergitas berbagai pihak, warga dapat mengolah lahan tersebut. Berkaca kepada pengelolaan yang tak mudah, perlu fasilitasi. Penyuluhan lewat berbagai media agar masyarakat memahami tata cara dan pengelolaan lahan tidur serta memperoleh hasil yang diharapkan. Seperti lahan tidur kering bisa diarahkan ke tanaman biofarmaka yang di masa pandemi sangat bernilai dan seterusnya. Begitujuga kebijakan pemanfaatan lahan tidur di daerah perkotaan, bisa dengan mengolahnya menjadi taman kota atau RTH.
Itu sekedar contoh bahwa program baik akan maksimal dengan sentuhan kebijakan. Bila perlu dibentuk Peraturan Daerah. Karena tantangan optimalisasi lahan tidur tidak mudah. Tetap saja ada status kepemilikan. Ini hambatan sering ditemui warga dan para petani mengelola lahan telantar. Selain itu, butuh solusi membenahi lokasi, pengairan, dan peningkatan sarana dan prasarana pendukung pertanian dan perkebunan di lahan tidur. Di sini tergambar jelas antara petani, pemilik lahan, Pemda harus terjalin baik demi maksimalnya pemanfaatan lahan tidur. Melalui fasilitasi kebijakan diharapkan pengelolaan lahan tidur bisa lebih terukur, terintegrasi dan komprehensif. Jadi bukan sekedar euforia sejenak. Paling penting diarahkan agar output kegiatan mendukung ke arah tercapainya ketahanan pangan nasional dan daerah. Terakhir, kembali ke tema di awal tulisan, optimalisasi lahan tidur dan tak produktif secara tidak langsung dapat mengurangi pembukaan lahan baru yang mana mengurangi deforestasi dan membantu negara mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target utama penurunan emisi gas rumah kaca.
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU