Modal Sosial Bangun Negeri

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Belum lama berselang Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar menerima penghargaan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Award 2023 untuk kategori Gubernur Pendukung Utama Pengelolaan Zakat. Penghargaan diserahkan langsung oleh Ketua Baznas Pusat di Puri Agung Hotel Sahid, Jakarta (CAKAPLAH.com, 21/3). Kategori penghargaan tadi diberikan kepada Kepala Daerah yang dinilai berkomitmen dan berhasil mendorong serta meningkatkan pengelolaan zakat di daerah. Teruntuk Riau, setiap bulan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengumpulkan zakat sekitar Rp3,5 miliar yang diambil dari pemotongan gaji ASN yang beragama Islam sebesar 2,5 persen. Kami selaku anggota DPRD Provinsi Riau turut senang. Meski masih banyak wacana dan gagasan menanti guna semakin memantapkan peran zakat dan wakaf. Sebab dalam ajaran Islam berderma bukan sebatas bentuk kebaikan hati si pemberi. Tapi ini bicara ibadah. Bahkan dalam sebuah hadist termahsur soal amalan yang terus berlanjut meski seorang muslim meninggal, Rasulullah mendahulukan penyebutan sedekah jariyah baru kemudian ilmu bermanfaat dan do’a anak saleh. Artinya kepedulian sosial puncak kesalehan. Sasarannya juga bukan ekslusif umat Islam semata. Berhubung Islam rahmatan lil’alamin, menebar kepedulian dan kasih sayang ke umat manusia.

Penerapan konsep di atas bisa dirasakan di ranah kehidupan nyata. Banyak ritual dan instrumen peribadatan Islam yang dinikmati berbagai kalangan. Contoh saat momen Hari Raya Idul Adha. Di banyak tempat, daging hasil pemotongan hewan kurban dibagi ke setiap warga termasuk pemeluk agama lain. Ini keberkahan yang wajib dilestarikan sekaligus penguat soliditas. Disamping itu masjid. Tidak semata berfungsi sebagai tempat ibadah umat muslim, tetapi juga memberi warna dalam kehidupan sosial. Malah banyak lingkungan masjid terpadu dengan sarana kesehatan kayak Posyandu dan kegiatan sosial lain. Tak hanya itu, masjid juga dipakai sebagai sentra aktivitas. Perihal ini, miris rasanya dulu pernah muncul kegaduhan ulah pernyataan seorang menteri di Pemerintahan Joko Widodo yang meributkan toa masjid. Padahal di lapangan, toa masjid bukan saja dipakai untuk menyuarakan azan dan pengajian. Mulai even sosial semisal kerja bakti atau gotong royong lingkungan, Posyandu, pemberitahuan kematian sampai urusan receh kayak kehilangan semua diumumkan lewat toa masjid. Dari sini tergambar aspek ajaran Islam memperkuat kultur bangsa kita yang komunal dan penuh kekeluargaan. Itu baru sepersekian unsur berkaitan dengan Islam. Jelas masih banyak modal sosial lain yang potensial untuk diberdayakan demi kemaslahatan negeri.

Modal Sosial

Banyak ahli menilai Indonesia sebagai negara berpopulasi muslim terbesar di dunia mempunyai potensi sangat besar. Sayangnya penilaian barusan cenderung memosisikan mayoritas muslim sebatas pangsa pasar. Tak heran saat momen Ramadhan dan Idul Fitri dibanjiri pemandangan mendadak syar’i, entah itu dari segi konten acara televisi hingga penjualan produk-produk. Di sisi lain mengabaikan nilai ekonomi, sosial dan politik yang ditawarkan Islam. Secara modal sosial, Islam memilik banyak institusi yang berpengaruh dalam perjalanan negeri ini. Sebut saja paling mengemuka masjid, pondok pesantren dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam. Perannya juga vital. Institusi bergerak di bidang dakwah dan pendidikan, kesehatan dan mengangkat perekonomian masyarakat. Terutama secara kelembagaan merekatkan masyarakat dan kehidupan sosial. Hal barusan tak akan pernah terwujud jika umat muslim tidak fanatik dan lalai mempraktikan ajaran keagamaannya. Sebab orientasi peribadatan Islam membentuk pribadi saleh, peduli dan bermanfaat bagi sekelilingnya. Konsep tersebut ditanamkan bukan melalui shalat dan kegiatan kajian agama saja. Dibarengi pula ranah praktik lewat berbagi ke sesama, baik itu bersedekah, zakat dan wakaf. Inilah sarana paling pokok untuk merekatkan masyarakat. Karena omong kosong mengaku peduIi tanpa diiringi kesadaran berbagi.

Makin menarik tentunya mengulas zakat dan wakaf sebagai alat memperkuat ikatan sosial di antara masyarakat. Pada dasarnya, keduanya instrumen yang berangkat dari nilai religius untuk mewujudkan redistribusi harta dari golongan yang berkecukupan kepada golongan yang membutuhkan. Optimalisasi zakat dengan penyaluran kepada mustahik akan dapat menjaga daya beli masyarakat miskin dari sisi penyediaan kebutuhan dasarnya. Sementara optimalisasi wakaf dengan pengelolaan secara produktif akan memperkuat perekonomian dari sisi investasi dengan dampak yang tidak hanya bersifat ekonomi, namun juga sosial, religius dan lingkungan. Tak hanya itu, zakat dan wakaf memiliki potensi yang besar untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. Secara jumlah, menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagaimana rilis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) RI, potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun. Kendati begitu tantangan terbesar merealisasikannya. Penerimaan zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di tahun 2019 tercatat baru mencapai 10,2 triliun. Meski penerimaan wakaf tak dibekali data rekapitulasi secara nasional, pengumpulan dana Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) seri SWR0001 berhasil mengumpulkan setidaknya Rp 50,8 miliar. Adapun gerakan wakaf uang ASN Kementerian Agama RI bisa terkumpul sekitar Rp 4 miliar di awal tahun 2021. Kesimpulannya, pengumpulan zakat maupun wakaf di Indonesia masih jauh dari potensi sebenarnya.

Kita mengapresiasi peran instansi dan lembaga Pemerintah seperti Pemprov Riau yang berupaya mengoptimalisasikan pengumpulan zakat, infak dan wakaf ke internal. Namun mengingat kuasa yang dimiliki lembaga eksekutif, wajar sekiranya berharap dan berekspektasi lebih jauh. Kalau sebatas internal, upaya menebarkan manfaat dari modal sosial seperti zakat dan wakaf tak akan berbicara banyak. Pemerintah dalam hal ini Pemprov Riau semestinya dapat mengkoordinasi, menginspirasi banyak pihak dan paling utama membentuk ekosistem yang mendukung perkembangan zakat dan wakaf. Mengenai disebut terakhir dapat berupa penguatan secara regulasi, tata kelola dan transparansi serta kebijakan daerah yang pro dan mendukung penguatan zakat dan wakaf. Kemudian peningkatan sosialisasi, literasi, edukasi dan riset. Terakhir, integrasi pemanfaatan dana sebagai instrumen program pengentasan kemiskinan terutama kemiskinan ekstrem, mendorong pemberdayaan dan pendidikan, dukungan untuk masyarakat dan dukungan kesehatan. Kenapa perlu intergrasi? Soalnya selama ini zakat dan wakaf antara Pemerintah Daerah dan elemen masyarakat terkesan berjalan sendiri-sendiri. Ini jelas sebuah kerugian. Padahal tujuannya sama.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

KEMITRAAN KUNCI KEMAJUAN

Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menempati posisi pertama jenis pekerjaan yang menyumbang banyak tenaga …