Pekanbaru – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim kembali bikin heboh dengan gagasannya. Dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi X DPR-RI (24/5/2023), Nadiem mengusulkan perubahan sistem perekrutan calon guru di sekolah-sekolah. Perubahan yang dimaksudkan sekaligus solusi menuntaskan persoalan rekrutmen guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dalam penyampaian, mantan bos Gojek tersebut mengajukan terobosan sistem perekrutan calon guru di sekolah melalui aplikasi marketplace. Kata marketplace pada dasarnya merujuk pada suatu tempat dimana terjadi tawar-menawar. Kalau di dunia fisik berupa pasar. Sementara dalam konteks kekinian mirip online shop. Jadi ini tempat di mana semua guru yang boleh mengajar masuk ke dalam satu database. Baik itu guru honorer lulus seleksi, lulusan PPG pra jabatan dan calon guru ASN. Database nantinya dapat diakses seluruh sekolah. Melalui wadah barusan, setiap sekolah dapat mencari guru yang dibutuhkan berdasarkan kemampuan, talenta, dan kompetensi secara mudah. Harapannya, dapat menyelesaikan masalah perekrutan yang selama ini kayak benang kusut. Wacana pelaksanaan rekrutmen guru PPPK sistem marketplace sudah didiskusikan bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB). Infonya direncanakan berlaku 2024.
Menurut Nadiem, tiga masalah akan terselesaikan lewat rancangan sistem berbasis marketplace. Pertama, mengatasi pemenuhan kebutuhan guru secara realtime. Jadi tak perlu menunggu rekruitmen terpusat yang makan waktu lama. Dalihnya masuk akal. Di lapangan kekosongan guru terjadi tiba-tiba akibat kematian, pensiun dan pindah sekolah. Kedua, perekrutan bisa dilakukan sesuai kebutuhan. Setakad ini siklus ketidaksinkronan antara sekolah, Pemerintah Daerah (Pemda) dan Pusat masih lestari. Ketiga, menyiasati problem ketidaksesuaian antara formasi ASN dengan kebutuhan di sekolah. Kendati sepintas cukup menjanjikan, tetapi ide Mendikbudristek timbulkan pro dan kontra. Meski marketplace menawarkan solusi atas pengangkatan dari Pusat yang selalu lama; memberi kesempatan yang lebih luas dan merata bagi para guru untuk mendapatkan pekerjaan di sekolah yang memerlukan; mendorong para guru meningkatkan kualitas dan kompetensi sebab sekolah hanya mencari guru-guru terbaik; serta para guru lebih fleksibel menentukan lokasi kerja sesuai dengan keinginan dan kesempatan, namun tetap dianggap tak menyasar akar masalah. Justru tampak terlalu menyederhanakan. Ide marketplace seumpama oasis. Dari kejauhan beri asa tapi ujungnya wallahualam. Bagi guru yang belum menjadi PNS atau PPPK tetap saja menghadapi ketidakpastian status. Mereka bisa dipecat atau diganti kapanpun tanpa alasan jelas. Selain itu muncul ketimpangan, dampak persaingan guru di marketplace. Paling fatal kebijakan baru ditafsirkan merendahkan martabat guru, serupa barang dagangan. Padahal sejarah Islam mengajarkan pentingnya menjaga marwah guru. Sekelas sultan dan khalifah saja mau belajar atau minta pendapat dituntut mendatangi guru, bentuk menjaga kemuliaan ilmu.
Solusi?
Ide marketplace guru terlihat bagus. Tapi apa tepat guna? Penilaian Komisi X DPR-RI bahwa marketplace guru ala Nadiem tak menyelesaikan masalah proses rekrutmen guru PPPK atau yang masuk kategori P1. Program tersebut tak baru-baru amat. Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) sudah lebih dulu launching e-Bursa Guru di tahun 2019. Prinsipnya sama, membantu atasi kekurangan guru sekaligus redistribusi guru. E-Bursa Guru dapat menyeleksi proses kepindahan guru dan tersambung dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Kembali ke program marketplace menteri Nadiem, daripada sibuk tiap tahun rilis kebijakan baru, bukankah lebih baik benahi program yang ada? Apabila jumlah guru pangkal masalah, perkuat database. Disinilah kelemahan mendasar negeri kita. Problem tenaga pendidik tak semata kuantitas, juga distribusi dan ketimpangan. Kesenjangan antar satuan pendidikan sangat mengemuka. Guru mata pelajaran tertentu jumlahnya berlebihan di satu tempat, tapi kurang di tempat lain. Distribusi urgen ditempuh. Sebaran dari sekolah yang over tenaga pendidik ke yang membutuhkan, dengan tetap mempertimbangkan jarak tempuh tenaga tempat tinggal pendidik agar memperlancar dan menjaga kinerja mereka di sekolah.
Perihal ancaman defisit guru sulit dituntaskan karena perekrutan PPPK sebatas atasi kekurangan. Penerimaan di tahun 2023 untuk memenuhi kekurangan di tahun 2022. Sementara kurun waktu Januari-Desember 2023, guru yang masuk masa purna tugas bertambah. Jalan paling tepat menganalisis data kebutuhan guru lima tahun ke depan. Berikut memperhitungkan guru yang akan masuki masa pensiun. Jadi database pijakannya. Program baru menyita anggaran. Iya jika masalah terselesaikan. Kalau ujungnya tambah masalah baru tentu makin menumpuk. Urgensi memperkuat Dapodik sangat beralasan. Database dapat diberdayakan sebagai kunci identifikasi kebutuhan guru. Sayang di lapangan ketika data Dapodik salah atau tak sesuai, yang disalahkan operator sekolah saja. Memang bagi guru, input data sangat penting karena penerbitan SK Tunjangan Sertifikasi berdasarkan data Dapodik yang dikirim ke server pusat. Bila data di-entry salah, SK tak akan terbit. Namun perkara tak hanya di situ. Kami yakin operator sekolah berupaya maksimal jalankan tugas. Mereka bergadang menyelesaikan proses input ke pusat. Tapi perlu diketahui, banyak kasus kesalahan di aplikasi itu sendiri. Semisal data dikirim tak dapat disinkronisasi, sudah diinput tapi tak ada notifikasi atau pemberitahuan, sistem dan server di pusat bermasalah, error sewaktu proses pengiriman data, dan kasus update aplikasi kerap buat operator “jantungan” ketika install versi terbaru malah mengubah data sekolah yang sudah valid dan bikin kacau.
Kompleks
Masalah pengangkatan guru honorer begitu kompleks. Problematika tenaga pendidik bak lingkaran setan. Di tingkat daerah, perencanaan dibuat belum sepenuhnya mengacu ke data (Dapodik) dan lebih berorientasi proyek. Kami di Komisi V DPRD Riau banyak menemukan kasus semisal SMAN satu daerah butuh laboratorium tapi yang dibangun toilet. Bahkan hasil pantauan tim dibentuk Komisi V periode lalu, beberapa urusan seperti dana BOS, PPDB, mutasi Kepala Sekolah (Kepsek) hingga DAK jadi lahan basah oknum Disdik. Menyoal PPDB dan mutasi Kepsek sering terkuak. Tak sedikit mengaku untuk dapat posisi Kepsek ada angka harus disiapkan. Bahkan sampai barter sertifikat tanah bagi calon yang dana cekak. Temuan tadi rahasia umum. Alokasi anggaran masuk tiap tahun untuk Disdik jumlahnya triliunan, sudah barang tentu besar pula potensi penyimpangan. Selama Pemprov Riau terutama Disdik belum sungguh-sungguh bekerja memajukan pendidikan, selama itu pula pendidikan Riau tertinggal. Pusat juga begitu. Suka lempar “bola panas”. Meskipun ada benarnya proses perekrutan terbentur formasi Pemda. Tapi di sisi lain keengganan Pemda usulkan formasi disebabkan aturan penggajian dan tunjangan tak sinkron. Kebijakan Kemenkeu mengeluarkan PMK 212 Tahun 2022 yang menyatakan gaji dan tunjangan guru PPPK bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) khusus pendidikan menuai komplain. Di aturan lain yakni Perpres dan Permendagri menyatakan gaji dan tunjangan guru PPPK dibebankan ke daerah. Aturan yang bebankan gaji dan tunjangan ke daerah memicu keberatan Pemda. Pusat dinilai mengakal-akali dana transfer dan APBD. Di saat sama banyak daerah dana transfernya dikurangi, termasuk Riau. Ironisnya, bukannya memberi teladan menggunakan anggaran, Pusat malah jor-joran belanja bukan prioritas misal pembangunan IKN, kereta cepat dan lain-lain.
Terakhir, sebelum eksekusi kebijakan baru perlu mengkaji A sampai Z. Selain mempertanyakan azas kebutuhan juga dampak. Apalagi keadaan begitu genting. Ancaman kekurangan guru nasional dihantui fenomena lain yang lebih mengkhawatirkan. Menteri lama Muhadjir Effendy pernah mengungkap keprihatinan rendahnya animo generasi milenial menjadi guru. Rasa prihatin didasarkan pada kurangnya jumlah generasi muda yang masuk Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Kemudian, berdasarkan hasil angket untuk mengetahui aspek non kognitif termasuk cita-cita, hanya 11 persen siswa peserta Ujian Nasional (UN) tingkat SMA 2018/2019 yang ingin menjadi guru. Sisanya, 89 persen peserta memilih profesi lain. Yang menyita perhatian, siswa yang capaian hasil UN-nya rendah lebih ingin menjadi guru. Adapun siswa nilai lebih tinggi, memilih cita-cita atau profesi lain. Fenomena tersebut sinyal bahaya. Menimbang guru merupakan profesi sangat vital dan berperan besar mendidik generasi penerus bangsa. Skeptisnya pandangan generasi muda terhadap prospek tenaga pendidik efek nyata minimnya perhatian negara kepada guru. Berangkat dari itu, hendaknya kebijakan baru jangan hanya mengedepankan gimmick penerapan teknologi. Tapi substansi masalah tak kunjung terselesaikan. Ikhtiar boleh saja, tapi mesti terukur. Jangan sampai kejadian, sudahlah sistem marketplace gagal menjawab permasalahan, guru disamakan ibarat barang dagangan di OL shop.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU