Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) memang berupaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk daerah dalam kegiatan usaha Migas. Upaya tersebut dilakukan melalui kebijakan Participating Interest (PI) 10 persen, yakni besaran maksimal 10 persen pada kontrak kerjasama yang ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Riau pun seketika bergembira mengingat akan adanya hak istimewa mengelola Blok Rokan. Peluang di luar PI tentu masih ada. Potensi keuntungan ekonomi dan pendapatan bagi daerah ke depan jelas makin bertambah. Namun setelah menjalani tahapan demi tahapan dan pertemuan demi pertemuan baru tahu: ternyata –mengutip kata kekinian- perjuangan tak semudah itu ferguso! Pemerintah Provinsi Riau akhirnya sadar. Perjuangan Riau memperoleh hak kelola atas kekayaan alamnya masih jauh dari genggaman.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Senayan pada awal bulan ini (5/4/2021), Gubernur Riau Syamsuar mengungkap kenyataan pahit. Rupanya belum semua daerah menikmati hak PI sebagaimana diamanahkan peraturan. Komitmen Pemerintah Pusat, SKK Migas dan Pertamina pun patut dipertanyakan. Bahkan daerah yang berharap PI tak sedikit ujung-ujungnya terpaksa gigit jari. Hal tadi bukan prasangka. Tapi dikuatkan dengan pengakuan Ridwan Kamil (RK) selaku Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET). Dalam RDP di DPR-RI, Gubernur Jawa Barat itu blak-blakan mempertanyakan komitmen Pemerintah Pusat terkait PI. RK mengakui baru dua provinsi di Indonesia yang bisa dibilang berhasil mendapatkan PI, yakni Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Lanjutan ceritanya semakin bikin gerah, bahwa menurut RK Jabar berhasil merebut PI karena selalu menggedor dan menongkrongi Kementerian terkait. Andai mengandalkan prosedur biasa (baca: bersurat dari daerah) bisa-bisa zonk.
Menuntut Hak
Cerita dibalik RDP membuat perjalanan Riau memperoleh hak mengelola sumber daya sendiri masih gelap. Cerita RK sebenarnya bukan hal baru. Sudah jadi rahasia umum malah. Jangankan urusan PI yang barangnya belum tampak, sesuatu yang sudah jelas saja bahkan kewajiban Pemerintah Pusat dan hak daerah seperti Dana Bagi Hasil (DBH) Migas selama ini sering tidak lancar. Formulasi juga dinilai tidak transparan dan tak adil. Daerah yang mengangguk saja tentu sengsara; takut ngegas makin tergilas. Tak terhitung SDA Riau yang disedot tapi tak sepadan dengan yang diterima daerah. Kembali menyoal PI, Ibarat lomba lari Riau baru menginjak garis start. Artinya, langkah masih panjang. Selagi belum menyentuh garis finish jangan kasih kendor.
Pengalaman pengelolaan Migas sejauh ini bisa menjadi catatan penting guna merebut hak lebih pengelolaan atas Blok Rokan. Blok Siak diantaranya bisa menjadi preseden. Mengingat blok yang kontraknya sudah sejak 2014 tapi PI 10 persen saja masih harus bolak-balik untuk menagihnya disebabkan Riau belum menerima. Selain PI, tuntutan lain perihal Migas yang perlu diperjuangkan yakni pengelolaan ladang-ladang minyak skala kecil. Berdasarkan hasil RDP terungkap banyak ladang-ladang minyak skala kecil dibiarkan begitu saja oleh Pertamina. Padahal jika pengelolaan diserahkan ke daerah tentu akan sangat bermanfaat untuk menambah pemasukan bagi daerah. Dari sisi Pertamina mungkin produktivitas ladang-ladang kecil tidak terlalu signifikan. Tapi bagi daerah, skala-skala kecil seperti itu sangat berarti.
Malu Tak Bersatu
Berdasarkan pemaparan di atas, saat ini dan ke depan momen paling penting bagi Riau dan sejarahnya. Perjuangan Riau untuk mendapatkan hak pengelolaan istimewa atas SDA yang ada di Blok Rokan memang bukan pertama. Namun akan menentukan banyak hal nantinya jika Pusat melihat kesungguhan dan kengototan elemen Riau untuk memperoleh sesuatu yang menjadi haknya. Melihat terjalnya jalan, jelas dibutuhkan stamina politik yang prima dan komitmen bersama. Terkait komitmen, terutama dari putra daerah yang mempunyai jabatan strategis di daerah hingga pusat dan juga tak kalah menentukan elemen masyarakat. Karena sulit jika Kepala Daerah berupaya sendiri.
Kembali ditekankan, harus ada konsolidasi dukungan dari tiap elemen Riau mulai politisi dan pejabat di pusat hingga daerah hingga segenap komponen masyarakat agar dapat satu suara dan berani menuntut bersama. Terkhusus bagi Pemprov Riau dan kabupaten di wilayah operasi blok Rokan, kita perlu memberi apresiasi setinggi-tingginya atas rencana penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dalam waktu dekat. MoU ini bukti bahwa Riau bersatu dan berpadu. Ajakan sama semoga dapat diikuti elemen Riau lainnya yang ingin memperjuangkan Blok Rokan secara maksimal. Kita patut malu dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat yang meski beda provinsi tapi bisa berjuang bersama dan bersepakat pembagian porsi PI pada wilayah kerja Offshore North West Java (ONWJ).
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau