Pekanbaru – Dalam beberapa kesempatan di awal tahun 2023, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar membanggakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Riau yang mengalami peningkatan signifikan. Terakhir, kabar baik serupa disampaikan saat bersilaturahim dengan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) pada Maret 2023. Dalam pidato sambutan, Gubri menyatakan bahwa peningkatan pembangunan di Riau bukan semata berdasarkan pembangunan fisik, tetapi juga non fisik. Seperti pembangunan pendidikan. “Hal ini dapat dilihat melalui IPM kita saat ini sudah naik. IPM ini mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Contoh penilaiannya itu indikator kemajuan pendidikan, kemajuan kesejahteraan ekonomi rakyat, kemajuan di dalam pelayanan kesehatan,” Demikian cakap Gubri dalam acara yang bertempat di Gedung Daerah Balai Serindit. Penilaian IPM yang disampaikan, lanjut orang nomor satu di Riau itu, tidak dibuat-buat. Sebab yang menilai bukan Pemerintah Daerah (Pemda) tetapi Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data BPS, IPM Provinsi Riau berada di atas rata-rata nasional. Dimana tahun 2022 mendapat nilai 73,52. Angka ini tercatat naik dari tahun sebelumnya.
Kami di kelembagaan DPRD Provinsi Riau sangat mengapresiasi peningkatan IPM Riau. Capaian tadi kabar baik sekaligus barometer untuk mengukur sudah sejauhmana langkah Pemda mewujudkan kemajuan daerah. Berbekal capaian, dapat disusun berbagai proyeksi dan agenda lebih optimistik lagi ke depannya. Apalagi, masih mengutip penyampaian Gubri dalam acara di atas, naiknya IPM pertanda kemajuan dari segi kualitas kesehatan, pendidikan dan pengeluaran per kapita masyarakat Provinsi Riau. Boleh dibilang masa pemerintahan Syamsuar dan Edy Natar telah melakukan terobosan penting dalam konteks penguatan SDM. Salah satu menonjol adalah pendidikan vokasi. Diperkuat dengan terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub). Atas upaya barusan Pemprov Riau memperoleh pujian dari Presiden RI. Riau pertama di Indonesia yang memiliki Pergub pendidikan vokasi. Pergub tersebut mengatur kerja sama sekolah dengan perusahaan swasta terkait rekruitmen tenaga kerja trampil dan ahli di bidangnya. Regulasi tentu sangat bermanfaat dalam menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan tenaga ahli profesional dan mengembangkan ilmu untuk berwirausaha.
Indikator
Sekilas tentang IPM bukan sekedar angka di atas kertas. IPM dapat menghasilkan gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan pembangunan daerah, yang diukur melalui tiga indikator krusial yang menopang kualitas kehidupan manusia. Ini bidang dan atensi kami di Komisi V. Indikator pertama adalah kesehatan. Indikator kesehatan menunjukkan derajat kesehatan fisik masyarakat yang diukur melalui angka harapan hidup dan kematian bayi. Semakin tinggi harapan hidup maka kematian bayi semakin sedikit. Selain itu, status kesehatan masyarakat dari angka jatuh sakit serta penyediaan sarana dan prarana kesehatan. Indikator kedua pendidikan, menilai keunggulan kualitas SDM mulai dari penyediaan fasiltias pendidikan, angka partisipasi sekolah, angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Terakhir, indikator standar hidup layak yang diukur dari sektor ketenagakerjaan, berikut mencakup keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang saling berpengaruh menopang daya beli masyarakat, sampai pada tingkat partisipasi angkatan kerja, kesempatan kerja, pengangguran dan standar hidup layak. Sukses atau tidaknya pencapaian indikator ditentukan oleh kinerja Pemerintah. Bicara daerah, menurut UU 23/2013 terdapat enam pelayanan dasar atau layanan publik yang wajib diselenggarakan oleh Pemda. Keenam pelayanan dasar dimaksud pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat dan sosial. Bentuk pelayanan dasar tadi diwujudkan lewat APBD sebagai instrumen. Dari sini jelas bahwa meningkat atau menurun IPM sangat bergantung dari optimalisasi belanja daerah.
Namun apakah alokasi anggaran semata berdampak signifikan tingkatkan IPM? Ternyata belum tentu. Dari sebuah kajian berjudul Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap IPM di Provinsi Riau menuturkan bahwa APBD hanya akan berpengaruh bila alokasi anggaran dan belanja berkualitas. Berkualitas dimaksud di sini disamping memenuhi mandat konstitusi, juga seberapa efektif dan sesuai prioritas atau kebutuhan. Menyoal amanah konstitusi, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyimpulkan bahwa, daerah yang memenuhi belanja wajib cenderung memiliki indikator pendidikan dan kesehatan lebih baik dibanding daerah yang tidak memenuhi belanja wajib. Bicara belanja wajib, hasil evaluasi Komisi X DPR menunjukkan bahwa mayoritas daerah belum mengalokasikan 20 persen APBD untuk pendidikan. Rata-rata daerah hanya mengalokasikan 8-9 persen APBD untuk fungsi tersebut. Selain kepatuhan terhadap undang-undang, kualitas belanja juga berbicara. Mungkin alokasi sektor pendidikan sudah penuhi amanah konstitusi yaitu 20 persen. Tapi item belanjanya lebih banyak untuk pengadaan yang tidak prioritas atau tidak sesuai kebutuhan. Fenomena yang sering ditemukan. Mulai item belanja tiap tahun yang copy-paste, banyak yang tidak nyambung dengan indikator perencanaan daerah hingga proyek “titipan”. Ini jenis belanja tak berkualitas.
Kualitas
Kita bersyukur IPM Riau meningkat. Tapi apakah pertanda alokasi belanja pembangunan manusia di Riau sudah baik? Tentu harus dikaji dulu. Terlebih menengok data BPS, ada hal cukup mengganggu. IPM Provinsi Riau sempat alami penurunan dua tahun belakangan. Di tahun 2019 di atas rata-rata nasional yakni 73.00. Lalu turun di tahun 2020 72.71 dan tahun 2021 72.94. Baru di tahun 2022 kembali meningkat 73.52. Penurunan dua tahun sebelumnya boleh jadi berdampak terhadap kemajuan daerah atau mengganggu perencanaan. Seumpama lomba lari, berhenti sepersekian detik saja hasilnya akan berbeda. Berkaca ke sektor pendidikan misalnya. Sewaktu pandemi alokasi pembangunan sarana pendidikan Pemda banyak terkena rasionalisasi. Sudahlah begitu, selepas pendemi tak pula digesa. Bahkan di tahun 2023 lagi-lagi tertunda asbab kendala anggaran (mengacu ke surat edaran Kemenkeu, dana transfer Riau dikurangi Rp. 613 M). Mirisnya, kala pembangunan sarana pendidikan ditunda atas dalih kekurangan anggaran, APBD justru dipakai untuk proyek yang tak terlalu dibutuhkan. Beberapa kegiatan malah melahirkan masalah belakang. Contoh kayak proyek payung masjid An-Nur senilai Rp. 42 M yang bikin heboh di internal Pemprov sendiri, sampai-sampai Sekdaprov Riau gusar. Sungguh pemandangan ironis dan bikin getir.
Berangkat dari pemaparan, dalam rangka meningkatkan IPM sudah sepantasnya diawali dengan menata supaya belanja daerah lebih berkualitas dan sesuai kebutuhan. Karena membangun SDM berkualitas harus diawali dengan belanja berkualitas pula. Hasil studi dan kajian yang mengungkap pengaruh belanja Pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap IPM yang berada di Provinsi Riau pada rentang waktu 2015-2020 juga menyimpulkan bahwa, belanja Pemda kurang berefek signifikan meningkatkan IPM juga disebabkan serapan belanja. Sekali lagi, memang di APBD alokasi sektor pendidikan 20 persen. Tapi realisasi atau serapan anggaran sampai akhir tahun acapkali tak maksimal alias bersisa. Artinya ada program yang tak bisa dieksekusi di tahun berjalan. Konsekuensinya sudah barang tentu meleset dari perencanaan dan target semula. Kalau sudah begini sulit berharap output belanja daerah sesuai harapan.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU