Tatkala Aturan Ancam Kedaulatan

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mendapat sorotan tajam paska menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Ketentuan baru itu memuat aturan pengelolaan pasir laut, yang mana memberi ruang atau mengizinkan aktivitas pengerukan pasir laut. Bikin heboh Pasal 9 Ayat (2) Huruf d yang menyatakan hasil pengerukan pasir laut dari aktivitas pembersihan sedimentasi bisa dijual ke luar negeri (diekspor) sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terobosan terbilang “berani”, sayang bukan dalam konteks positif. Sekedar informasi, izin ekspor pasir laut sempat dicabut di era Presiden Megawati Sukarnoputri. Tiga menteri kala itu: Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pertimbangannya: ekspor pasir laut dianggap dapat merusak lingkungan. “Bahwa dalam rangka menghindari kerusakan lingkungan hidup, ekosistem dan habitat kehidupan laut yang lebih luas akibat pengusahaan pasit laut yang tidak terkendali, perlu diadakan penataan pengusahaan dan ekspor pasir laut yang lebih terkoordinasi,” demikian kutipan bagian pertimbangan. Kini setelah 20 tahun dilarang, Presiden Jokowi kembali membuka lembaran kelam yang dulu banyak dikecam.

Kendati peraturan di atas kewenangan pusat, perlu kiranya menyampaikan pandangan kristis. Baik itu melihat dari sisi idealnya produk hukum disusun berikut perspektif otonomi yakni kepentingan daerah. Dari segi pijakan regulasi, dalih terbitnya aturan pengelolaan sedimentasi laut yang melandasi dibukanya ekspor pasir laut terkesan terlalu dipaksakan. Sepintas tanpa kajian matang. Dalam konsideran PP No 26/2023, satu-satunya rujukan adalah UU No 32/2014 tentang Kelautan yakni Pasal 27 yang menyebut pengelolaan ekosistem pesisir dan laut ditujukan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan. Lantas apa relevansinya pembersihan laut dari sedimentasi dengan kebutuhan atau upaya memulihkan kerusakan lingkungan? Selain itu paling mendasar keterbukaan dan aspirasi pemangku kepentingan. Bukankah penyusunan peraturan perlu landasan sosiologis sebagai pertimbangan? Dengan begitu tergambar jelas peraturan yang dibentuk guna memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Sementara PP, sudahlah secara data tak lengkap dan tak transparan. Potensi sedimentasi laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum dilandasi hasil survei, penelitian dan laporan ilmiah. KKP ternyata juga belum punya data potensi, sebaran lokasi, dan nilai hasil sedimentasi laut.

Sejarah Kelam

Kepentingan daerah paling mendesak disuarakan dibalik diterbitkannya PP No 26/2023. Disini sejumlah pertanyaan mengemuka. Apakah peraturan tadi sudah menjawab kebutuhan? Atau jangan-jangan “pesanan”? Wajar muncul dugaan kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut hanya tameng untuk melegalkan upaya pengambilan pasir di laut demi kegiatan ekstraktif. Tujuannya meraup pendapatan jangka pendek. Kekhawatiran tambah menguat mengingat di Naskah Akademik PP dinyatakan material sedimentasi dapat berupa kerikil, pasir dan lumpur. Kemudian potensi hasil sedimentasi di laut tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia, baik di kawasan pemanfaatan umum, alur pelayaran, alur laut kepulauan Indonesia, maupun di zona alur di luar kawasan pelabuhan. Selama ini pasir laut memang diizinkan pemanfaatannya untuk kebutuhan dalam negeri, terutama untuk pasir uruk tanah reklamasi. Namun bicara ekspor punya sejarah kelam di masa lalu. Terkhusus Riau dan masyarakat pesisir. Kalau ditanya mayoritas bakal menolak langkah Pemerintah buka keran ekspor pasir laut. Selain mengancam mata pencarian mereka yang kebanyakan berprofesi nelayan, tambang pasir laut merusak potensi wisata bahari serta memicu dan memperparah abrasi. Dahulu tambang pasir laut begitu marak di perairan Riau dan Kepri. Sejak 1978-2002 ratusan juta meter kubik pasir laut setiap tahun diekspor ke Singapura. Sebelum pelarangan, Indonesia pemasok utama. Malaysia juga pernah memasok pasir laut tapi sudah menghentikan ekspor ke Singapura. Informasinya, Singapura sedang merancang fase ketiga mega proyek Pelabuhan Tuas. Pekerjaan reklamasi direncanakan selesai pertengahan 2030. Proyek tadi tentu bakal butuh pasir dalam jumlah besar.

Tak heran di Riau dan daerah pesisir bergaung penolakan. Diantaranya Aliansi Tokoh Masyarakat Riau Peduli Pulau Rupat melalui Ketua Said Amir Hamzah (31/5/2023). Tersiar kabar sejumlah perusahaan tambang pasir laut tengah bersiap mau masuk. Banyak warga menolak kompensasi yang ditawarkan perusahaan asbab pengalaman buruk. Aktivitas tambang tak hanya mengganggu ekosistem laut, tetapi turut mengancam keberadaan pulau-pulau kecil yang sebagian ditempati warga. Pengerukan pasir laut membuat tanah merosot. Lebih fatal kalau lokasi tambang tumpang tindih dengan kawasan stretagis pariwisata nasional. Kerusakan lingkungan akibat tambang membuat hewan laut yang menjadi daya tarik wisata seperti dugong dan lumba-lumba bisa menghilang serta habitat ikan hancur. Bagi para nelayan makin sulit menangkap ikan. Paling krusial diangkat ancaman abrasi. Teruntuk Riau situasinya sudah gawat. Mengacu ke data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, seluas 482 km panjang pantai di Riau terdampak abrasi. Terutama di pesisir pantai Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kepulauan Meranti. Dampak abrasi menggerus ekosistem gambut. Menurut ahli lingkungan, tambang pasir laut mempercepat abrasi. Data tadi diperkuat catatan Komisi I DPRD Riau, bahwa saat ini sudah ratusan meter pesisir pantai di Desa Muntai, Bengkalis dan beberapa daerah di pesisir pulau Riau habis terkikis akibat abrasi.

Inkonsistensi

Terbitnya PP No 26/2023 menimbulkan keraguan perihal komitmen dan konsistensi Pemerintah. Baru September 2021 kejadian satu perusahaan menambang pasir di perairan Pulau Rupat, Bengkalis. Dalam beraktivitas, perusahaan hanya mengantongi dokumen analisis dampak lingkungan yang terbit tahun 1998. Perusahaan tersebut mengeruk pulau-pulau di sekitar Rupat yang terbentuk dari gundukan pasir atau biasa disebut “beting”. Akibatnya ekosistem pesisir rusak. Kerusakan berupa abrasi, laut keruh, hancurnya terumbu karang dan padang lamun. Februari 2022, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP menghentikan operasi kapal penambang pasir milik perusahaan karena tak memiliki persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Hasil penelitian membuktikan kerusakan pesisir Pulau Rupat efek aktivitas tambang. Kendati masih segar di ingatan, kok Pemerintah malah berbalik arah? Disamping itu bagaimana visi Presiden Jokowi yang katanya memperkuat maritim? Dibukanya ekspor pasir laut jelas tak sinkron. Abrasi perlahan menyebabkan batas dengan negara tetangga semakin sempit. Banyak nelayan Riau mengeluh tak bisa melaut sampai ke tengah. Pasalnya pihak tentara Malaysia menyatakan laut itu sudah masuk wilayah mereka. Ternyata berdasarkan alat ukur batas negara, laut Malaysia terus meluas akibat daratan Riau sudah terendam air laut. Kini perbatasan laut telah dijaga tentara angkatan laut Malaysia sehingga nelayan Indonesia tak leluasa lagi menangkap ikan. Bila ekspor pasir laut dibuka, keadaan bisa memburuk. Ini baru permulaan menuju ancaman selanjutnya yaitu kedaulatan bangsa. Memang dalam eksekusi sebuah peraturan ada pengawasan. Tapi tak jaminan berjalan maksimal. Peran Pemerintah Daerah (Pemda) juga tak banyak. Dalam PP, Pemda bagian dari tim pengkaji penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Kewenangan lebih banyak di pusat. Gubernur sebatas mengeluarkan izin pengangkutan dan penjualan yang bersifat mandatori.

Dalam situasi frustasi begini hanya bisa mengajukan pertanyaan. Apa sepadan mengeluarkan kebijakan ekspor pasir laut yang membuat negara tetangga bertambah luas tetapi di sisi lain menenggelamkan negara sendiri? Apa jadinya ketika aturan yang dibuat digerogoti kepentingan sempit? Kekuatan sebuah negara ada pada setiap jengkal tanah dan airnya. Memperkuat visi maritim bukan modal kata dan janji. Harus tampak dalam kebijakan. Memperkuat ekosistem perairan laut dan memberdayakan unsur-unsur yang berada di ekosistem laut lebih diperlukan. Inilah kekuatan maritim Indonesia.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA BADAN PEMBENTUKAN PERDA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

KEMITRAAN KUNCI KEMAJUAN

Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menempati posisi pertama jenis pekerjaan yang menyumbang banyak tenaga …